Kamis, 06 November 2014

Studi Genesis Diorit Batung Berdasarkan Data Geokimia di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Provinsi Kalimantan Selatan



 1.1. LATAR BELAKANG
Hal yang melatar-belakangi penulis mengambil studi genesis batuan diorit karena batuan diorit merupakan jenis batuan beku menengah plutonik yang banyak dijumpai di daerah penelitian. Melihat kondisi geologi daerah penelitian, satuan intrusi diorit menempati ± 65,84 % dari luas daerah penelitian dan tersebar di bagian tengah membentang dari utara sampai dengan selatan. Hal lainnya adalah belum pernah ada kajian khusus dari peneliti sebelumnya mengenai genesis dari batuan diorit di daerah penelitian.
Oleh karena itu, penulis mencoba mengkaji studi khusus mengenai batuan diorit untuk mengetahui genesis dan sebaran dari batuan diorit serta mengungkap asal mula magma pembentuk batuan gunung api di daerah penelitian dengan menggunakan analisis geokimia, yaitu analisis komposisi kimia batuan dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry.
Di pihak lain penulis juga ingin membuktikan bahwa di daerah penelitian dahulunya merupakan zona subduksi Kapur, yaitu dengan melakukan perbandingan antara hasil analisa geokimia di Pulau Kalimantan yang berumur Kapur dengan hasil analisa geokimia di Pulau Jawa yang berumur Tersier.

1.2.  MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud penelitian adalah untuk mengidentifikasi dan mendiskripsi batuan gunung api secara megaskopis, mikroskopis dan geokimia yang terkait dengan genesis batuan diorit, khususnya batuan berumur Kapur di daerah penelitian berdasarkan komposisi kimia batuan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui asal mula magma yang membentuk batuan gunung api dari batuan diorit mengenai karakteristik tipe / jenis batuan di daerah penelitian. Selain itu, untuk mendeliniasi sebaran batuan diorit di daerah penelitian.

1.3.  PERMASALAHAN DAN BATASAN MASALAH
Permasalahan teknisnya adalah kondisi singkapan yang sudah sangat tua dan lapuk lanjut, sehingga hubungannya tidak jelas, selain itu juga mengenai beberapa sampel batuan yang tidak layak dan hasil analisis laboratorium yang hasilnya tidak sesuai dengan standar yang ada. Untuk itu perlu adanya penelitian khusus mengenai batuan diorit ini tentang genesis dan sebaran batuan dilihat dari komposisi kimia batuan. Dengan penelitian ini diharapkan kita menjadi tahu mengenai proses dan asal mula magma dari batuan diorit di daerah penelitian.
Batasan masalah pada penelitian ini adalah gambaran mengenai genesis dari batuan diorit dilihat dari komposisi kimia batuan diorit dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry.

1.4.  LANDASAN TEORI
1.4.1.      Asal Mula Magma
Kebanyakan kemunculan magma dihasilkan di batas lempeng, kecuali pada sesar transform yang bilamanapun ada dihasilkan magma dalam jumlah sedikit. Lingkungan di mana magma dihasilkan dapat dikelompokkan ke dalam lingkungan tepi lempeng (plate margin) dan bagian tengah lempeng (intraplate) yang di dalamnya dapat dibagi lagi menjadi tujuh tataan tektonik lempeng (Tabel 1.1). Wilson (1989) menjelaskan bahwa lingkungan tataan tektonik pembentukan magma meliputi tepi lempeng konstruktif, tepi lempeng destruktif, tataan bagian tengah lempeng samudera dan tataan bagian tengah benua (Tabel 1.2). Selain itu McBirney (1984) memberikan perkiraan angka kecepatan pembentukan magma (km3/tahun) di dalam lingkungan – lingkungan tektonik yang berbeda tersebut (Tabel 1.3). Tampak bahwa kecepatan pembentukan magma pada batuan plutonik jauh lebih cepat (29,5) dibandingkan pada batuan gunung api (4,1 km3/tahun) untuk masing – masing lokasi tataan tektoniknya.

Tabel 1.1.
Klasifikasi magma yang berhubungan dengan lingkungan tektonik lempeng (Condie, 1982).

Tabel 1.2.
Ciri – ciri seri magma yang berasosiasi dengan tataan tektonik khusus (Wilson 1989).

Tabel 1.3.
Kecepatan global magmatisme pada Masa Kenozoikum (McBirney, 1984).



Distribusi magma tampak berhubungan dengan tegasan tektonik di dalam kerak maupun di dalam mantel bagian atas (Gambar 1.1). Lingkungan tegasan ekstensif seperti punggungan samudera, cekungan tepi – lautan dan regangan benua dicirikan oleh seri magma tholeit dan seri magma alkali. Jalur subduksi / penekukan diasosiasikan dengan dominasi tegasan kompresif yang menghasilkan seri magma kapur alkali. Daerah dengan tegasan minor (kompresif atau ekstensif) seperti cekungan samudera dan daerah kraton / inti benua dicirikan oleh seri magma tholeit atau seri magma alkali.


Gambar 1.1.
Penampang yang memperlihatkan hubungan pembentukan magma dengan tektonik lempeng (Ringwood, 1969).

Sebagian besar pembentukan magma berlangsung pada batas lempeng litosfer yang sering dijumpai di punggungan tengah samudera, busur kepulauan dan bagian tepi benua aktif yang merupakan batas – batas persentuhan lempeng. Namun demikian pembentukan magma juga berlangsung secara terpisah – pisah menempati bagian tengah lempeng yaitu pusat – pusat magmatisme yang bersumber dari hot spot. Lokasi hot spot terletak dekat punggungan samudera, bagian tengah lempeng samudera dan berada pada lempeng – lempeng benua. Diperkirakan magma yang membentuk kerak samudera di punggungan tengah samudera berasal dari peleburan bagian paling atas astenosfir, sedangkan yang membangun pulau – pulau samudera (Hawaii) berasal dari peleburan bahan di bagian dalam mantel Bumi.

1.4.2.      Definisi Magma
Secara sederhana magma didefinisikan sebagai material induk pembentuk batuan beku atau disebut sebagai zat batuan yang mencair. Magma dicirikan oleh komposisi didominasi silika (SiO2), bersuhu tinggi dan mempunyai kemampuan untuk mengalir.
Sifat mudah mengalirnya magma berkaitan dengan viskositas / kekentalan magma artinya magma yang mempunyai viskositas tinggi tidak mudah mengalir dan relatif cepat membeku, sedangkan magma yang mempunyai viskositas rendah akan mudah mengalir dan relatif lambat membeku. Viskositas lava tergantung pada komposisi (terutama SiO2 dan kandungan gas yang terlarut di dalamnya) dan tergantung pada temperatur. Magma berkomposisi basal (kurang dari 50 % SiO2) adalah cepat mengalir / mudah mengalir, sedangkan magma yang mempunyai komposisi riolit (mengandung 70 % atau lebih SiO2) adalah sangat pekat (viskositas tinggi) sehingga mengalir sangat lambat dan pergerakannya sukar dideteksi. Sifat kekentalannya yang tinggi tersebut membuat gelembung gas sulit untuk keluar. Hal yang terakhir ini berkaitan dengan letusan kuat yang menghasilkan abu gunung api.
Sifat fisik magma berhubungan dengan magma sebagai bahan cair kental pijar, mengandung gas dan bersuhu tinggi. Oleh karena itu, magma mudah bergerak dan arah pergerakannya mempunyai kecenderungan menuju ke permukaan Bumi membentuk gunung api. Bilamana magma membeku jauh di dalam Bumi (deep seated intrusions) membentuk batuan beku dalam atau batuan plutonik, sedangkan magma membeku dekat permukaan (sub volcanic intrusions; shallow magma intrusions dan hypabyssal intrusions) atau di dalam tubuh gunung api sampai membeku di permukaan Bumi membentuk batuan beku intrusi dangkal dan batuan gunung api.
Sifat magma yang mempunyai suhu tinggi sehingga mencapai 1400oC (Macdonald, 1972) berhubungan dengan komposisi magma. Magma berkomposisi basal mempunyai suhu paling tinggi (1000oC – 1400oC) dibandingkan magma berkomposisi lebih asam (missal magma riolit = 850oC).

1.4.3.      Komposisi Magma
Secara umum batuan beku disusun oleh enam kelompok mineral seperti olivin, piroksin, ampibol, mika, feldspar, dan kuarsa. Unsur – unsur yang terkandung di dalam mineral – mineral penyusun batuan beku adalah Si (silikon), Al (aluminium), Ca (kalsium), Na (sodium), K (potasium), Fe (besi), Mg (magnesium), H (hidrogen) dan O (oksigen), unsur – unsur ini selalu diekspresikan dalam ion oksida sebagai SiO2, Al2O3, dan seterusnya. Unsur Si (SiO2) merupakan unsur terbanyak dan terpenting untuk mengendalikan sifat magma sehingga unsur ini sering dipakai para ahli sebagai komponen pembanding untuk klasifikasi batuan magma.
Batuan magma disaring terlebih dulu melalui dapur magma sebelum perpindahannya ke permukaan atau dekat permukaan Bumi. Proses – proses di dalam dapur magma sering merubah komposisi magma primer produk peleburan sebagian sumber melalui fraksinasi kristal, percampuran magma, kontaminasi atau percampuran dinamis beberapa proses – proses tersebut. Selanjutnya kemungkinan batuan beku secara kimiawi berubah karena pelepasan gas atau karena interaksinya dengan cairan yang dapat mempengaruhi kimia isotop stabil.
Flint (1977) menjelaskan bahwa komposisi magma hasil analisis kimia menunjukkan kisaran 45 % berat sampai 75 % berat SiO2. Hanya sedikit lava yang komposisi SiO2 mencapai terendah 30 % berat dan setinggi 80 % berat, tetapi variasi ini terbentuk bila magma terasimilasi oleh fragmen batuan sedimen dan batuan malihan atau ketika diferensiasi magma, sehingga menyebabkan komposisi magma berubah. Berdasarkan analisa kimia tersebut terdapat tiga jenis magma (Gambar 1.2), yaitu :
1.      Magma mengandung sekitar 50 % SiO2 membentuk batuan beku basal, diabas dan gabro;
2.      Magma mengandung sekitar 60 % SiO2 membentuk batuan beku andesit dan diorit;
3.      Magma mengandung sekitar 70 % SiO2 membentuk batuan beku riolit dan granit.

Selain komposisi senyawa SiO2, pada gambar juga memperlihatkan bahwa batuan beku basal / gabro didominasi oleh mineral yang berkomposisi Al2O3, FeO, MgO, CaO, sedangkan batuan riolit / granit didominasi oleh mineral yang mempunyai komposisi Al2O3, Na2O3 dan K2O.


Gambar 1.2.
Memperlihatkan kisaran komposisi (persen berat) jenis batuan beku dan dibedakan menjadi tiga kelompok utama jenis magma yang ada di Bumi (Flint, 1977).

Di pihak lain Peccerillo dan Taylor (1976) membagi magma berdasarkan kandungan SiO2 (Tabel 1.4) dan kombinasi antara SiO2 dengan K2O (Gambar 1.3). Komposisi kombinasi menunjukkan adanya afinitas magma K rendah (low K series) atau sering disebut tholeiite, K menengah rendah (calc – alkaline series), K menengah tinggi (high K calc alkaline series) dan K tinggi (shoshonite series). Pada Gambar 1.3 dapat dijelaskan bahwa terdapat beragam komposisi batuan beku seperti : andesit tholeit, andesit kapur alkali, dan andesit shosonit, begitupun juga untuk kombinasi batuan beku yang lain.

Tabel 1.4.
Jenis magma dan komposisi magma Peccerillo dan Taylor (1976).



Gambar 1.3.
Komposisi dan afinitas magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976).

1.5.  HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN
1.5.1.      Hasil Analisis
1.5.1.1.     Lapangan
Penulis melakukan penelitian pada dua satuan batuan, yaitu satuan intrusi diorit dan satuan intrusi granit. Luasnya penyebaran satuan intrusi diorit yang mencakup ± 65,84 % dari luas daerah penelitian, sedangkan untuk satuan intrusi granit ± 18,33 % dari luas daerah penelitian. Penulis mengambil contoh batuan sebanyak 8 sampel pada satuan intrusi diorit dan satuan intrusi granit yang diambil secara acak pada Lp. 1 sampel 1 (Foto 1.1), Lp. 69 sampel 2 (Foto 1.2), Lp. 65 sampel 3 (Foto 1.3), Lp. 40 sampel 4 (Foto 1.4), Lp. 11 sampel 5 (Foto 1.5), Lp. 56 sampel 6 (Foto 1.6), Lp. 20 sampel 7 (Foto 1.7), Lp. 15 sampel 8 (Foto 1.8), untuk analisa penentuan kadar SiO2, TiO2, Al2O3, Fe2O3, MnO, CaO, MgO, Na2O, K2O, P2O5 dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry. Sedangkan untuk menentukan komposisi dan afinitas magmanya penulis menggunakan model chart Peccerillo dan Taylor (1976).

Foto 1.1.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 1 di Lp. 1 (lensa menghadap ke utara).

 
Foto 1.2.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 2 di Lp. 69 (lensa menghadap ke utara).

Foto 1.3.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 3 di Lp. 65 (lensa menghadap ke timur).

Foto 1.4.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 4 di Lp. 40 (lensa menghadap ke timur).

Foto 1.5.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 5 di Lp. 11 (lensa menghadap ke barat).

Foto 1.6.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 6 di Lp. 56 (lensa menghadap ke selatan).


Foto 1.7.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 7 di Lp. 20 (lensa menghadap ke utara).

Foto 1.8.
Pengambilan contoh batuan untuk sampel 8 di Lp. 15 (lensa menghadap ke timur).

1.5.1.2.     Laboratorium
Berdasarkan hasil analisa data geokimia batuan yang penulis dapatkan dari Laboratorium Pusat Survei Geologi, penulis dapat menguraikannya sebagai berikut di bawah ini :

Tabel 1.5.
Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 1di Lp. 1.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
73.110
Si
%
67.497
23.686

2
TiO2
%
0.235
Ti
%
0.278
1.507

3
Al2O3
%
14.281
Al
%
14.918
21.533

4
Fe2O3
%
3.008
Fe
%
4.135
10.767

5
MnO
%
0.029
Mn
%
0.044
0.237

6
CaO
%
3.942
Ca
%
5.574
15.073

7
MgO
%
1.099
Mg
%
1.305
7.967

8
Na2O
%
3.994
Na
%
5.838
17.227

9
K2O
%
0.195
K
%
0.318
1.507

10
P2O5
%
0.107
P
%
0.092
0.495




100


100
100


Tabel 1.6.

Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 2 di Lp. 69.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
61.553
Si
%
54.531
20.481

2
TiO2
%
0.527
Ti
%
0.599
2.560

3
Al2O3
%
16.614
Al
%
16.666
17.068

4
Fe2O3
%
7.735
Fe
%
10.222
13.654

5
MnO
%
0.154
Mn
%
0.227
1.024

6
CaO
%
2.981
Ca
%
4.037
10.241

7
MgO
%
4.072
Mg
%
4.674
11.947

8
Na2O
%
4.723
Na
%
6.642
13.654

9
K2O
%
1.406
K
%
2.208
8.534

10
P2O5
%
0.235
P
%
0.195
0.836




100


100
100


Tabel 1.7.
Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 3 di Lp. 65.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
48.999
Si
%
41.564
19.042

2
TiO2
%
0.666
Ti
%
0.724
3.015

3
Al2O3
%
18.809
Al
%
18.063
17.455

4
Fe2O3
%
11.411
Fe
%
14.758
15.868

5
MnO
%
0.201
Mn
%
0.282
1.269

6
CaO
%
11.656
Ca
%
14.814
17.455

7
MgO
%
5.383
Mg
%
5.903
12.694

8
Na2O
%
2.190
Na
%
2.933
9.521

9
K2O
%
0.582
K
%
0.876
3.332

10
P2O5
%
0.103
P
%
0.082
0.349




100


100
100


Tabel 1.8.
Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 4 di Lp. 40.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
58.938
Si
%
51.596
19.487

2
TiO2
%
0.543
Ti
%
0.610
2.598

3
Al2O3
%
17.293
Al
%
17.128
17.863

4
Fe2O3
%
8.341
Fe
%
10.896
14.615

5
MnO
%
0.147
Mn
%
0.213
0.812

6
CaO
%
4.352
Ca
%
5.825
11.367

7
MgO
%
3.773
Mg
%
4.258
11.367

8
Na2O
%
3.804
Na
%
5.283
11.367

9
K2O
%
2.584
K
%
4.006
9.743

10
P2O5
%
0.226
P
%
0.185
0.779




100


100
100


Tabel 1.9.
Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 5 di Lp. 11.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
77.544
Si
%
71.654
24.882

2
TiO2
%
0.060
Ti
%
0.071
0.448

3
Al2O3
%
12.581
Al
%
13.156
24.882

4
Fe2O3
%
0.858
Fe
%
1.183
5.972

5
MnO
%
0.010
Mn
%
0.015
0.124

6
CaO
%
0.271
Ca
%
0.383
2.239

7
MgO
%
0.130
Mg
%
0.155
1.493

8
Na2O
%
3.595
Na
%
5.278
17.417

9
K2O
%
4.940
K
%
8.096
22.394

10
P2O5
%
0.012
P
%
0.011
0.149




100


100
100


Tabel 1.10.
Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 6 di Lp. 56.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
56.883
Si
%
49.325
18.349

2
TiO2
%
1.183
Ti
%
1.316
4.893

3
Al2O3
%
16.168
Al
%
15.853
15.291

4
Fe2O3
%
9.232
Fe
%
11.932
13.761

5
MnO
%
0.146
Mn
%
0.210
0.917

6
CaO
%
4.691
Ca
%
6.226
10.703

7
MgO
%
2.546
Mg
%
2.844
9.174

8
Na2O
%
4.701
Na
%
6.468
12.232

9
K2O
%
3.057
K
%
4.702
10.703

10
P2O5
%
1.393
P
%
1.124
3.976




100


100
100


Tabel 1.11.
Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 7 di Lp. 20.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
58.516
Si
%
51.090
19.078

2
TiO2
%
0.595
Ti
%
0.665
2.703

3
Al2O3
%
17.072
Al
%
16.883
17.488

4
Fe2O3
%
8.742
Fe
%
11.383
14.308

5
MnO
%
0.157
Mn
%
0.227
0.954

6
CaO
%
4.469
Ca
%
5.961
11.129

7
MgO
%
3.604
Mg
%
4.076
11.129

8
Na2O
%
4.139
Na
%
5.730
12.719

9
K2O
%
2.420
K
%
3.750
9.539

10
P2O5
%
0.287
P
%
0.235
0.954




100


100
100


Tabel 1.12.
Hasil uji kimia metode XRF (XRF method chemistry analysis result) pada sampel 8 di Lp. 15.
No.
Oksida
Satuan
Jumlah
Elemen
Satuan
Jumlah
Sd
Ket.
No.
(oxides)
(unit)
(amount)
(elements)
(unit)
(amount)
(expl.)
1
SiO2
%
91.875
Si
%
90.231
35.211

2
TiO2
%
0.164
Ti
%
0.207
2.465

3
Al2O3
%
6.143
Al
%
6.826
30.181

4
Fe2O3
%
0.965
Fe
%
1.419
16.600

5
MnO
%
0.006
Mn
%
0.010
0.252

6
CaO
%
0.047
Ca
%
0.071
0.855

7
MgO
%
0.190
Mg
%
0.241
3.018

8
Na2O
%
0.257
Na
%
0.401
4.527

9
K2O
%
0.328
K
%
0.572
6.539

10
P2O5
%
0.025
P
%
0.023
0.352




100


100
100



Gambar 1.4.
Grafik hasil kombinasi analisa geokimia menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry, menurut Peccerillo dan Taylor (1976).

1.5.2.      Pembahasan
Di tinjau dari segi geologi daerah penelitian, batuan diorit menempati satuan intrusi diorit yang termasuk dalam Formasi Diorit Batung yang berumur Kapur Atas. Satuan intrusi diorit ini tersusun oleh diorit dan sisipan andesit. Secara geomorfologi satuan intrusi diorit terletak pada satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat struktural dan satuan geomorfologi bergelombang kuat perbukitan denudasional. Struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian adalah adanya kekar.
Dari hasil laboratorium diketahui bahwa sebagian besar dari hasil analisa geokimia dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry dengan menggunakan model chart Peccerillo dan Taylor (1976) yang mengarah ke batuan beku dengan komposisi magmanya menengah atau intermediet (Gambar 1.4).
Dari beberapa sampel batuan beku yang diambil di daerah penelitian berdasarkan analisis kimia tersebut didapat tiga jenis magma, yaitu :
1.      Magma mengandung sekitar 50 % SiO2 membentuk batuan beku basal seperti pada sampel 3 di Lp. 65;
2.      Magma mengandung sekitar 60 % SiO2 membentuk batuan beku andesit dan diorit seperti pada sampel 2 di Lp. 69, sampel 4 di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7 di Lp. 20;
3.      Magma mengandung sekitar 70 % SiO2 membentuk batuan beku granit seperti sampel 1 di Lp. 1, sampel 5 di Lp. 11, sampel 8 di Lp. 15.

Dari kedelapan sampel batuan tersebut yang akan dilakukan penelitian lebih lanjut adalah sampel batuan dengan jenis komposisi magmanya menengah, yaitu sampel 2 di Lp. 69, sampel 4 di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7 di Lp. 20. Jenis komposisi magma menengah mempunyai kandungan silika 60% dengan unsur utama lain Al, Ca, Na, Fe, Mg, viskositas magma relatifnya menengah dengan suhu pada pembekuan kristal pertama 800 – 1000 menghasilkan produk batuan beku berupa diorit untuk batuan beku plutonik dan andesit untuk batuan beku volkanik (Chernicoff dan Venkatakrishnan, 1995).
Jenis magma menengah dengan SiO2 53% – 63% pun masih dibagi menjadi dua bagian, yaitu 57% - 63% SiO2 komposisi magmanya andesit untuk batuan beku volkaniknya  dan diorit untuk batuan beku plutoniknya, 53% - 57% SiO2 komposisi magmanya andesit basal untuk batuan beku volkanik dan diorit basaltik untuk batuan beku plutoniknya (Peccerillo dan Taylor, 1976).
Pada sampel 2 di Lp. 69 dari hasil analisis petrografi (klasifikasi Williams, 1982) maupun analisis geokimia dengan menggunakan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry serta dari hasil grafik komposisi dan afinitas magma (Peccerillo dan Taylor, 1976) menunjukkan bahwa dari hasil analisis tersebut diketahui batuan pada sampel 2 di Lp. 69 adalah batuan beku volkanik, yaitu andesit.
Pada sampel 4 di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7 di Lp. 20 dari hasil analisis petrografi (klasifikasi Williams, 1982) maupun analisis geokimia dengan menggunakan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry serta dari hasil grafik komposisi dan afinitas magma (Peccerillo dan Taylor, 1976) menunjukkan bahwa dari hasil analisis tersebut diketahui batuan pada sampel 4 di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7 di Lp. 20 adalah batuan beku plutonik yaitu diorit.
Dari 8 (delapan) sampel batuan tersebut berdasarkan grafik geokimianya terdapat (2) dua sampel batuan yang tidak layak digunakan sebagai acauan untuk penelitian, yaitu sampel 5 di Lp. 11 dan sampel 8 di Lp. 15. Hal ini mungkin disebabkan oleh kondisi sampel batuan yang sudah mengalami pelapukan dan hasil laboratorium yang hasilnya tidak sesuai dengan standar yang ada.
Selain itu juga untuk membuktikan apakah batuan yang ada di daerah penelitian merupakan produk subduksi, maka penulis membuat perbandingan antara hasil analisis geokimia yang ada di daerah penelitian, yaitu di Pulau Kalimantan yang berumur Kapur dengan data hasil analisis geokimia yang ada di Pulau Jawa yang berumur Tersier berdasarkan data hasil penulis terdahulu (Soeria-Atmaja dkk, 1993) meliputi daerah Bayat, Parangtritis, Kulon Progo dan Karang Sambung. Jumlah sampel pembanding ada 13 (tiga belas) sampel batuan, yang meliputi : Bayat 3 sampel, Parangtritis 2 sampel, Kulon Progo 5 sampel dan Karang Sambung 3 sampel (Gambar 1.5).


Gambar 1.5.
Grafik hasil perbandingan analisa geokimia yang ada di daerah penelitian (Pulau Kalimantan) yang berumur Kapur dengan yang ada di Pulau Jawa yang berumur Tersier (Soeria-Atmaja dkk, 1993) menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry, menurut Peccerillo dan Taylor (1976).

Dari hasil perbandingan tersebut, diketahui bahwa batuan yang ada di daerah penelitian, yaitu yang ada di Pulau Kalimantan yang berumur Kapur dengan batuan yang ada di Pulau Jawa yang berumur Tersier, menunjukkan grafik yang relatif sama komposisi kimia batuannya, yaitu menengah atau intermediet dan masih dalam lingkup afinitas magma K menengah tinggi (High-K Series), K menengah rendah (Medium-K Series) dan K rendah (Low-K Series).
Zona jalur subduksi mengarah pada afinitas magma K menengah tinggi (High-K Series), K menengah rendah (Medium-K Series) dan K rendah (Low-K Series), di luar dari itu bukan merupakan produk dari subduksi yaitu pada afinitas magma K tinggi (Shoshonite Series).
Condie (1982) menyebutkan bahwa kebanyakan kemunculan magma dihasilkan di batas lempeng, kecuali pada sesar transform yang bilamanapun ada dihasilkan magma dalam jumlah sedikit. Pada lokasi daerah penelitian lingkungan di mana magma dihasilkan terletak pada lingkungan tepi lempeng (plate margin) dan masuk dalam tataan tektonik lempeng konvergen (jalur penekukan), hal ini berdasarkan hasil analisa geokimia pada grafik (Gambar 1.4) jalur subduksi / penekukan diasosiasikan dengan dominasi tegasan kompresif yang menghasilkan seri magma kapur alkali. Berdasarkan inilah maka genesis dari magma adalah sebagai akibat dari proses subduksi / penekukan, penunjaman lempeng samudera ke lempeng benua, yaitu antara lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudera Indo-Australia. Karena berat jenis lempeng samudera lebih besar daripada lempeng benua, maka lempeng samudera tertekuk (melengkung) ke bawah dengan sudut 45o atau lebih, menyusup di bawah lempeng benua menuju astenosfir.
Kecepatan global magmatisme pada masa Kenozoikum (McBirney, 1984) tepi lempeng destruktif untuk batuan gunungapi adalah 0,4 – 0,6 km3/tahun dan 2,5 – 8,0 untuk batuan plutonik.