Sabtu, 31 Agustus 2013

Fenomena Semburan Lumpur Panas di Daerah Porong, Sidoarjo, Jawa Timur Ditinjau dari Aspek Geologi Lingkungan


PENDAHULUAN


Pada tanggal 29 Mei 2006 terjadi semburan lumpur panas di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, pada jarak 200 m di sebelah barat daya titik pemboran eksplorasi minyak dan gas bumi Banjar panji-1 (BJP-1) milik PT. Lapindo Brantas (Gambar 1.1). Pada tanggal 2 Juni 2006 terjadi lagi dua sem­buran lumpur di titik baru di Desa Renokenongo. Semburan pertama yang merupakan semburan utama sampai saat ini masih aktif menyemburkan lumpur panas dengan volume yang sangat besar, sehingga menggenangi daerah seluas tidak kurang dari 5 km2  (Gambar 1.2).


Gambar 1.1. Lokasi penelitian di daerah Porong, Kabupaten Sidoarjo (Sudarsono, dkk, 2007).

 
Gambar 1.2. Semburan lumpur (kiri, dok: Igan, 2007) dan genangan lumpur (kanan, dok: Sudarsono, 2007).

Semburan lumpur panas ini telah mengakibatkan dampak pada lingkungan di sekitarnya, seperti amblasan, pengangkatan, rekahan tanah, pemunculan bualan gas, dan genangan lumpur. Selain mengeluarkan lumpur dengan volume sangat besar di sekitar semburan, akhir - akhir ini ditemukan bual - bual (Gambar 1.3) yang sampai April 2007 dicatat oleh Badan Pengendalian Lum­pur Sidoarjo (BPLS), sebanyak 62 titik bual aktif maupun tidak aktif. Akibat lainnya dari semburan lumpur panas tersebut adalah tenggelamnya pemukiman, sarana, dan prasarana lainnya.

Gambar 1.3. Penampakan bual di daerah Porong, Desa Siring, Kabupaten Sidoarjo (Sudarsono, dkk, 2007).

Melihat besarnya volume lumpur yang dikeluar­kan diyakini bahwa di daerah tersebut akan terjadi amblesan. Selain menggenangi daerah yang cukup luas, semburan lumpur tersebut juga menim­bulkan masalah amblesan dan pencemaran air tanah di sekitar lokasi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai amblesan yang terjadi di daerah sekitar semburan utama dengan tujuan untuk mendelineasi area amblesan.

Gambar 1.4. Foto peneliti pada saat berada di sebelah barat tanggul semburan lumpur panas Porong, Sidoarjo dekat Jalan Raya Porong – Sidoarjo, Jawa Timur.

Semburan lumpur panas Sidoarjo mempunyai sebutan yang amat manis, yaitu “LUSI” singkatan dari Lumpur Sidoarjo. Namun sebutan ini tidak semanis kenyataannya. LUSI mengakibatkan dampak negatif yang semakin hari semakin bertambah besar dan luas. Pemerintah Indonesia telah membentuk tim untuk menangani berbagai permasalahan yang berhubungan dengan LUSI. Pada awalnya diperuntukkan dalam penanganan masalah sosial dari dampak semburan tersebut. Tim tersebut adalah Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo pada tahun 2006 sampai dengan 2007, kemudian pada awal 2008 digantikan dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang disingkat BPLS. Kedua tim bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Teknis pelaksanaan kegiatannya berada di bawah koordinasi Dewan Pengarah yang dipimpin oleh Menteri Pekerjaan Umum dengan anggotanya Menteri – Menteri Sosial, Lingkungan Hidup, Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Menteri Kesehatan, dan Gubernur Jawa Timur.

Gambar 1.5. Lokasi semburan lumpur panas Sidoarjo yang dikenal dengan sebutan LUSI, kependekan dari Lumpur Sidoarjo terletak di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur (Zaennudin, dkk, 2010).

Badan Geologi sebagai salah satu institusi di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah melakukan penyelidikan dan penelitian dengan beberapa metode di sekitar semburan lumpur panas Sidoarjo sejak bulan Februari 2007, sembilan bulan sesudah semburan lumpur panas terjadi. Penyelidikan aktivitas semburan dilakukan dengan metode geologi, geokimia, dan geofisika. Pemantauan dan penyelidikan dengan menggunakan metode Global Positioning System (GPS) dilakukan untuk mengetahui perubahan yang telah dan sedang terjadi, walaupun tidak dilakukan dengan kontinyu tapi hasilnya memberikan gambaran yang sangat baik untuk mengetahui daerah atau wilayah mana saja yang telah mengalami deformasi yang sangat signifikan. Metode ini pula dapat mendelineasi wilayah terluar yang terkena deformasi. Karena proses semburannya yang tidak dapat dihentikan dan dampaknya yang cukup besar dan luas terhadap wilayah di sekitarnya, maka perencanaan penataan ruang wilayah di sekitar LUSI diperlukan dengan mempertimbangkan ancaman bahaya dan daya dukung geologi.

Gambar 1.6. Lokasi pusat semburan LUSI berada di wilayah sebelah timur Kompleks Gunung Api Arjuno – Welirang. LUSI bersama gunung lumpur Pulungan, Kalang Anyar, dan Gunung Anyar terdapat pada zona sesar Watukosek yang berawal dari Gunung Penanggungan di bagian selatan menerus sampai ke Bangkalan, Madura di bagian utara berarah barat daya – timur laut (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 1.7. Hembusan asap yang membumbung setinggi 100 – 150 m dan genangan lumpur panas Sidoarjo. Pada awal semburan sampai awal tahun 2009 dibuat tanggul di sekitar pusat semburan untuk mengarahkan aliran lumpur panas ke Kali Porong. Deformasi yang sangat cepat sering mengakibatkan tanggul tersebut jebol dan akhirnya pada bulan April 2009 tenggelam ke dasar kolam lumpur. Pada tahun 2007 semburan lumpur panas masih didominasi air sekitar 60 – 70% dari semburan yang keluar dari bawah (Zaennudin, dkk, 2010).



TINJAUAN PUSTAKA


2.1. ASPEK GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
LUSI adalah suatu proses pembentukan gunung lumpur yang sedang berlangsung. Proses ini mempunyai keunikan, yaitu dengan adanya semburan lumpur bertemperatur cukup tinggi sekitar 95o–100oC. Hal ini kemungkinan satu–satuya kejadian pembentukan gunung lumpur di dunia yang bersuhu tinggi. Dengan munculnya fenomena ini, maka diperlukan suatu penelitian dan kajian yang komprehensif.

2.1.1. Fisiografi Daerah Penelitian
Daerah Sidoarjo secara fisiografi termasuk dalam Zona Kendeng yang diapit oleh Zona Rembang di bagian utara dan zona Solo di bagian selatan (Bemmelen, 1949). Di wilayah ini tersingkap Formasi Kabuh, Formasi Jombang, dan Aluvium. Santosa dan Suwarti (1992) telah memetakkan geologi Lembar Malang dan daerah Sidoarjo termasuk di bagian utaranya yang secara umum tersusun oleh batuan sedimen klastika, epiklastik, piroklastik, dan aluvium, berumur dari Plistosen Awal hingga Resen.
Di sebelah utara wilayah Sidoarjo terdapat antiklin dengan sumbu berarah timur–barat yang menghunjam ke arah timur (Selat Madura). Antiklin ini menempati bagian timur dari Zona Kendeng tersebut. Di daerah Porong dan sekitarnya tempat semburan LUSI terjadi merupakan daerah dataran yang ditutupi oleh endapan aluvial Delta Brantas setebal ±100 m lebih. Endapan aluvial ini ke arah selatan langsung kontak dengan batuan vulkanik Gunung Penanggungan, salah satu kerucut tua dari Kompleks Gunung Api Arjuno – Welirang.

2.1.2. Stratigrafi Daerah Penelitian
Stratigrafi batuan yang terdapat di daerah Sidoarjo dan sekitarnya dapat dicerminkan oleh stratigrafi sumur eksplorasi minyak dan gas bumi Banjar panji-1 dan Porong, Sidoarjo. Endapan batuan di wilayah ini diawali dengan terbentuknya batugamping pada zaman Pliosen, kemudian ditutupi secara tidak selaras oleh endapan batupasir vulkanik Pliosen atas, batulempung berwarna kebiru-biruan, selang-seling batupasir dan serpih berumur Plistosen Bawah - Tengah. Kelompok batuan tersebut kemudian yang ditindih secara tidak selaras oleh batuan Gunung Api Notopuro berumur Plistosen Atas dan aluvial Delta Brantas berumur Resen.
Batupasir vulkanik yang terdapat di sumur Banjar panji-1 ini mempunyai ketebalan sekitar 962 m (Adi Kadar dkk, 2007) yang menipis ke arah timur (PT. Lapindo Brantas, 2006). Lapisan batuan ini adalah endapan batuan vulkanik hasil erupsi gunung api yang berada di sebelah barat atau barat dayanya yang berumur Pliosen Atas dan merupakan hasil orogenesa Plio - Plistosen. Batulempung berwarna kebiru-biruan yang menindih di atasnya adalah bagian bawah dari Formasi Pucangan berumur Plistosen Bawah.
Bemmelen (1949) menyatakan bahwa pada zaman Pliosen Bawah terdapat banyak gunung api yang berlokasi di sekitar Surakarta masih aktif dan pada saat yang bersamaan di wilayah sebelah timurnya terdapat aktivitas gunung api lainnya sebagai ujung timur Zona Solo adalah Kompleks Gunung Api Wilis Tua dan Anjasmoro Tua. Letusan - letusan dari kompleks gunung api tersebut menghasilkan endapan lahar, aliran piroklastik, dan atau endapan fluvial hasil reworked dari endapan piroklastika. Lapisan batupasir vulkanik yang terdapat pada wilayah Porong dan sekitarnya merupakan lapisan batuan hasil erupsi gunung api tersebut.
Di atas endapan batupasir vulkanik kemudian diendapkan batulempung abu–abu kebiruan setebal 1.285 m berumur Plistosen Bawah – Plistosen Tengah (Adi Kadar dkk, 2007). Kemudian satuan batuan tersebut selaras ditutupi oleh selang–seling antar batulempung dan serpih dari Formasi Pucangan, serta endapan vulkanik Formasi Kabuh pada zaman Plistosen Tengah – Atas dan anggota Jombang dari Formasi Notopuro yang berumur Plistosen Atas. Setelah terbentuknya breksi lahar Jombang, kemudian terjadi pelipatan dan pensesaran pada formasi – formasi tersebut.
Pada zaman Plistosen Atas aktivitas vulkanik dari Gunung Anjasmoro berpindah pusat aktivitasnya ke arah tenggara dan timurnya membentuk Kompleks Gunung Api, meliputi: Gunung Kawi, Gunung Arjuno, Gunung Penanggungan, dan Gunung Welirang. Sesar Watukosek terbentuk pada saat itu yang mensesarkan formasi – formasi lebih tua yang terdapat di wilayah ini termasuk Formasi Kabuh.
Keberadaan sesar Watukosek di sekitar Porong tertutup oleh endapan aluvial Delta Brantas. Tetapi di wilayah sebelah selatan terindikasi adanya gawir sesar di Desa Watukosek, rembesan minyak di Desa Carat, dan kelurusan gunung – gunung lumpur Kalang Anyar, Pulungan, dan Gunung Anyar yang terdapat disekitar bandara Juanda, Waru, Sidoarjo. Sesar ini menerus ke arah timur laut melewati Selat Madura sampai ke Bangkalan (Pulau Madura) dengan ditemukannya gunung lumpur Geger.

Gambar 2.1. Interpretasi susunan batuan antara sumur Banjar panji-1 dan Porong (PT. Lapindo Brantas, 2006). Lapisan batupasir vulkanik terlihat menebal ke arah barat, barat daya yang menunjukkan sumber batuan vulkanik tersebut berasal.

2.1.3. Tatanan Tektonik
Cekungan Jawa Timur merupakan cekungan batuan sedimen yang sangat luas dimulai dari Jawa Tengah bagian timur sampai ke Selat Madura (Bemmelen, 1949). Batuan yang terdapat di bagian timur berumur relatif muda dibandingkan dengan bagian barat. Cekungan ini telah mengalami perlipatan dengan sumbu antiklin berarah timur – barat dan pensesaran, baik sesar normal maupun sesar naik sejak Miosen sampai Resen (Davies dkk, 2007).
Cekungan Jawa Bagian Timur sudah terbentuk pada zaman Tersier yang mengendapkan batugamping, batunapal, dan batuan gunung api. Aktivitas vulkanik yang terjadi pada saat itu terdapat di bagian selatan Pulau Jawa, membentuk Formasi Andesit Tua dan Gunung Banyak yang terdapat di sekitar Surakarta (Bemmelen, 1949). Stratigrafi Cekungan Jawa Timur (Tabel 2.1.).

Tabel 2.1. Korelasi Stratigrafi Batuan Tersier dan Kuarter di Jawa Bagian Timur dan LUSI (Modifikasi Bemmelen, 1949 dan Kadar, 2006).
Zona Kendeng
(Bemmelen, 1949)
Zona Rembang
(Bemmelen, 1949)
LUSI
(Modifikasi dari Kadar, 2006
Umur
Utara Surakarta
Semarang  -  Ungaran
Bagian Selatan
Bagian Utara
Porong, Sidoarjo

Terlipat ke atas
Endapan aluvial
Pengangkatan
(penurunan Laut Jawa)
Aluvial
Holosen
Teras Watulawang
Breksi Notopuro
Teras Atas
Gunung Api Lasem dan Butak
Batuan Gunung Api
Plistosen Atas
Formasi Kabuh
Seri Damar
Formasi Malo
Plistosen Tengah
Batulempung Hitam
(Fm. Pucangan)
Selang – seling batupasir dan serpih
Batupasir Gunung api (Fm. Pucangan)
Plistosen Bawah
Batugamping Balanus
Fm. Kalibeng Atas
Batugamping
Pliosen Atas
Batunapal Sonde
Fm. Mundu
Batugamping Karren

Pliosen
Tengah
dan Bawah
Batugamping Klitik
Formasi Kalibeng Bawah
Kalibiuk
Fm. Ledok
Batugamping Kapung
Cipluk
Fm. Wonocolo


Miosen Atas
Formasi Banyak
Miosen Tengah
Fm. Kerek Atas
Fm. Penyatan
Formasi Rembang
Miosen Bawah
Fm. Kerek Bawah
Fm. Merawu
Fm. Pelang
Fm. Lutut

Oligosen

Pada zaman Miosen Atas terbentuk Formasi – Formasi Kalibeng Bawah, Cipluk, Kapung, dan Kalibiuk di Zona Kendeng. Di Zona Rembang masih  berlangsung pengendapan Formasi Wonocolo yang ditutupi secara selaras oleh Formasi Ledok dan kemudian disusul oleh Formasi Mundul pada bagian sayap selatan dan Formasi Kerren pada sayap utara sampai zaman Pliosen Tengah. Di Zona Kendeng kemudian pada zaman ini terbentuk Formasi Kalibeng Atas yang terdiri atas batugamping Klitik, batunapal Sonde, dan batugamping Balanus, sedangkan di sekitar Ungaran terbentuk Seri Damar.
Pada zaman Pliosen Atas - Plistosen Bawah pengangkatan dasar laut terus berlangsung dengan perlahan dan terbentuklah Formasi Kalibeng Atas dan Formasi Pucangan berupa batulempung hitam yang diendapkan pada lingkungan danau air tawar. Formasi Kalibeng Atas (batugamping) yang berkembang pada lereng selatan ditutupi selaras oleh batupasir tufaan kapuran dengan moluska laut dan secara setempat – setempat berupa batugamping Balanus. Kemudian lapisan batuan tersebut dikenal dengan “Ngronan Horizon”, yang ditutupi secara selaras oleh lapisan batuan vulkanik dari Formasi Pucangan (Bemmelen, 1949). Gunung Wilis Tua merupakan gunung api yang aktif saat itu yang salah satu hasil erupsinya diantaranya membentuk lapisan batuan vulkanik dalam Formasi Pucangan. Sedangakan di Zona Rembang terbentuk batulempung biru dengan batunapal dan batugamping dari Formasi Malo.
Pada zaman Plistosen Tengah proses tektonik berlangung semakin kuat, yang mengakibatkan terbentuknya perlipatan yang berarah relatif timur – barat, dan patahan naik serta patahan normal berarah relatif sama, yaitu timur – barat. Lipatan – lipatan kecil (antiklinorium) Cepu terus berlanjut hingga ke Pulau Madura.
Di sebelah selatan wilayah ini terdapat Jalur gunung api Gunung Lawu Tua, Gunung Wilis, dan Anjasmoro. Aktivitasnya berlangsung sampai Plistosen Atas (1 juta tahun yang lalu). Produk letusannya menghasilkan endapan batuan Formasi Notopuro. Di sebelah utara Zona Randublatung di sekitar Rembang terbentuk Gunung Lasem dan Gunung Butak yang merupakan aktivitas magmatik back arc basin. Daerah Rembang dan sekitarnya berubah menjadi daratan 1,5 juta tahun yang lalu.
Pada zaman Plistosen Atas (1 juta tahun yang lalu) Gunung Lawu Tua longsor ke arah utara membentuk endapan – endapan batuan vulkanik di sekitar Solo, setelah itu istirahat cukup lama, kemudian kembali aktif dan membentuk Gunung Lawu Muda dikenal juga dengan nama Gunung Jobolarangan. Pada saat itu aktivitas Gunung Anjasmoro berpindah relatif ke sebelah selatan, timur, dan timur laut membentuk Kompleks Gunung Kawi – Arjuno – Welirang – Penanggungan, sedangkan Gunung Wilis tidak menunjukkan aktivitasnya lagi sampai saat ini. Hal ini ditunjukkan dengan bentuk morfologinya yang kasar mencerminkan tingkat erosi yang sudah sangat lanjut.
Zona Randublatung dari 1 juta tahun yang lalu sampai saat ini terus mendangkal, yang dahulunya berupa rawa – rawa / laut sangat dangkal berubah menjadi dataran aluvial. Daerah ini merupakan tempat terkumpulnya endapan – endapan sungai atau dataran limpah banjir yang menghasilkan endapan – endapan lumpur seperti kita lihat di sawah – sawah yang ada sekarang.

2.2. GUNUNG LUMPUR
Gunung lumpur yang terdapat di Jawa bagian timur pada umumnya terbentuk pada cekungan yang terisi oleh endapan batuan sedimen laut yang cukup tebal, mengandung minyak dan gas bumi. Kemunculan lumpur dalam proses pembentukan gunung di wilayah ini, pada umumnya diakibatkan oleh adanya struktur geologi, seperti lipatan dan sesar serta energi yang mendorongnya sehingga lumpur tersebut dapat mencapai permukaan. Gas bumi bertekanan tinggi yang berada di puncak antiklin dan adanya sesar sebagai zona lemah merupakan faktor penyebab migrasinya fluida atau gas ke permukaan.
Gunung – gunung lumpur yang terdapat di Jawa bagian timur tersebut adalah Bledug Kuwu (Grobogan), Sangiran (Sragen), Wringin Anom (perbatasan Gersik – Mojokerto), Kalang Anyar dan Pulungan (Sedati, Sidoarjo), Gunung Anyar (Surabaya), dan Geger (Bangkalan, Madura). Dari semua gunung lumpur tersebut yang masih aktif mengeluarkan lumpur yang cukup besar sampai saat ini hanya Bledug Kuwu yang terdapat di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Gunung Lumpur Kalang Anyar, Gunung Anyar, dan Geger juga masih mengeluarkan air dan lumpur walaupun dalam volume kecil. Gunung lumpur lainnya hanya mengeluarkan gas bercampur air seperti yang terlihat di Sangiran dan Pulungan.
Gunung Lumpur merupakan gejala alam yang banyak dijumpai pada bagian timur Pulau Jawa, yang biasanya dihubungkan dengan keterdapatan cebakan migas dibawahnya. Gunung lumpur Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, terletak sekitar 9 km sebelah timur kota Purwodadi. Disekitar areal gunung lumpur Bledug Kuwu banyak dijumpai gunung – gunung lumpur yang berskala kecil membentuk kompleks gunung lumpur seluas kurang lebih 100 ha. Hanya berjarak sekitar 10 km ke arah barat dari kompleks gunung lumpur tersebut terdapat gejala alam lain, berupa tembusan gas yang sangat menarik. Gas yang muncul itu menyala sepanjang tahun, tidak pernah padam, dan dikenal dengan nama api abadi Mrapen.
Sebelah selatan dari kompleks gunung lumpur Bledug Kuwu terdapat gunug lumpur Kubah Sangiran, Sragen. Tetapi gunung lumpur Kubah Sangiran ini sekarang hanya mengeluarkan air dalam jumlah yang sangat kecil atau dapat dikatakan telah mati.
Aktivitas semburan lumpur terjadi pertama kali pada tanggal 29 Mei 2006, kemudian disusul oleh titik semburan kedua berjarak 150 m sebelah timur laut pada tanggal 2 Juni 2006 dari sumur pemboran tersebut.
Titik semburan kedua dan ketiga kemudian padam dan hanya titik semburan pertama yang masih aktif. Sampai akhir tahun 2008 debit semburannya berkisar antara 75.000 m3 sampai dengan 150.000 m3 per hari, tetapi pada awal tahun 2010 sampai bulan Juni 2010 mengalami penurunan debit yang cukup signifikan.
Gunung – gunung lumpur yang dijumpai di sekitar LUSI, seperti Gunung Anyar, Kalang Anyar, dan Pulungan, yang hanya berjarak 20 km sebelah utara – timur lautnya, tepat di sekitar lapangan udara Juanda, Waru, Sidoarjo. Di samping ketiga gunung lumpur tersebut, masih ada tiga gunung lumpur lainnya yang diperkirakan pernah terjadi pada zaman Majapahit. Ketiga gunung lumpur tersebut terdapat di sekitar Mojokerto – Kertosono.
Gambar 2.2. Gunung lumpur yang terdapat di Pulau Jawa bagian timur dan Madura serta yang terdapat di sekitar LUSI. Hanya Bledug Kuwu yang masih aktif mengeluarkan gas dengan mendorong lumpur yang menutupinya (Zaennudin, dkk, 2010).

Semburan Lumpur panas Sidoarjo ini hanya berjarak sekitar 10 km di sebelah utara Kompleks Gunung Api Arjuno – Welirang. Gunung Penanggungan merupakan kerucut paling utara dari kompleks gunung api tersebut. Kompleks Gunung Api Arjuno – Welirang telah tersesarkan oleh sesar Watukosek yang berarah barat daya – timur laut. Sesar ini melewati daerah semburan lumpur panas Sidoarjo, terus sampai ke daerah di sekitar Bandara Juanda, Waru. Sesar Watukosek dicirikan dengan adanya gawir sesar di Watukosek, rembesan minyak bumi di Carat, dan adanya kelurusan dari gunung – gunung lumpur Kalang Anyar, Pulungan, Gunung Anyar, dan Geger (Bangkalan, Madura).

Gambar 2.3. Gelembung lumpur berdiameter 3 – 4 m bagaikan bola raksasa yang muncul dari dasar Bledug Kuwu karena didorong oleh gas metana dari bawah permukaan (kiri). Gelembung lumpur itu kemudian pecah disertai dengan suara “bledug” dan mengeluarkan gas berwarna putih ke sekelilingnya (kanan) (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 2.4. Di kompleks gunung lumpur Bledug Kuwu juga dijumpai kerucut lumpur setinggi 10 – 12 m bagaikan kerucut gunung api dalam skala kecil (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 2.5. Kenampakan gunung lumpur Gunung Anyar yang terdapat di sebelah utara Bandara Juanda, Waru, Sidoarjo. Sampai saat ini gunung lumpur tersebut kadang – kadang masih mengeluarkan air, gas, dan lumpur dalam jumlah kecil. Wilayah di sekitarnya sudah dikembangkan menjadi perumahan penduduk setempat (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 2.6. Kenampakan gunung lumpur Pulungan yang terletak di sebelah selatan Bandara Juanda, Waru, Sidoarjo. Pada beberapa titik masih terdapat kubangan lumpur dengan tembusan gas (bubbles) dan air. Gunung lumpur ini sudah dijadikan perkampungan penduduk. Rumah – rumah dibangun di atas gundukan gunung lumpur. Padahal dari beberapa titik masih mengeluarkan gas, air, atau bahkan lumpur yang kadang – kadang muncul pada lantai rumah, sehingga perkampungan tersebut tidak sehat (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 2.7. Lumpur yang keluar dari lantai salah satu rumah penduduk di Kampung Pulungan, Sedati, Sidoarjo. Perumahan penduduk ini dibangun di atas gunung lumpur Pulungan karena kebutuhan lahan yang mendesak untuk perumahan sehingga faktor lingkungan kurang diperhatikan. Tingkat kesehatan masyarakat yang menempati wilayah ini buruk, karena setiap saat menghirup gas CO2, CH4, dan gas emisi lainnya (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 2.8. Gunung Penanggungan hanya berjarak sekitar 10 km sebelah selatan semburan LUSI. Aktivitas magmatik di bawah gunungapi ini diduga berkaitan dengan panas yang terjadi pada LUSI, yang melewati zona lemah dari sesar Watukosek yang terbentuk setelah gunungapi ini hadir (Zaennudin, dkk, 2010).


Gambar 2.9. Gunung lumpur Kalang Anyar yang terletak di sebelah selatan Bandara Juanda, Waru, Sidoarjo, masih mengeluarkan lumpur, air, gas dalam volume kecil. Endapan yang dihasilkan mencapai jarak beradius 500 m dari titik pusat, dengan ketebalan lebih dari 5 m. Endapan tersebut digali dan digunakan mengurug lahan pada pembuatan lapangan terbang internasional Bandara Juanda sehingga bentuknya sudah tidak layaknya sebuah bukit, tetapi bagaikan lokasi tambang galian C (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 2.10. Kenampakan Gunung lumpur Bujel Tasek Laki, Geger di Bangkalan Madura, terlihat masih aktif mengeluarkan lumpur dalam volume kecil membentuk kerucut yang indah setinggi sekitar 10 – 15 m dari daerah sekitarnya. Gunung lumpur ini masih mengeluarkan lumpur dalam jumlah kecil. Foto: Zaennudin.

Gambar 2.11. Bujel Tasek Bini salah satu gunung lumpur yang berjarak sekitar 400 m dari Bujel Tasek Laki, di Geger, Bangkalan, Madura. Pada bagian tengahnya masih terlihat adanya gelembung gas yang muncul dengan membawa air dan lumpur. Endapan lumpur hasil erupsi gunung lumpur ini tersebar menutupi areal 75 x 300 m2 lembah di wilayah ini. Foto: Zaennudin.

Gambar 2.12. Semburan LUSI disertai uap air dan gas yang didominasi gas hidrokarbon membumbung setinggi 100 m di atas permukaan. Hembusan gas bercampur uap tersebut terjadi setiap menit, tetapi pada awal tahun 2010 hembusan gas tersebut melemah. Tinggi hembusan hanya mencapai 25 m (Zaennudin, dkk, 2010).

Pada awal peristiwa sampai tahun 2008 semburan lumpur panas Sidoarjo didominasi oleh air, tetapi pada awal tahun 2009 terlihat adanya peningkatan kepekatan. Perbandingan antara material padat dengan air mengalami perubahan yang sangat signifikan. Hal ini dapat pula terlihat dari citra landsat IKONOS CRISP maupun NASA. Pada bulan April 2010 terjadi perpindahan titik semburan, bersuhu sekitar 94o – 100oC yang dierupsikan dari dalam dengan diameter sekitar 50 – 75 m. Tinggi asap pada awal tahun 2007 terlihat cukup tinggi ±100 m dengan terjadinya semburan lumpur (kick) sampai 5 – 8 m, pada saat ini tidak terlihat lagi.

Gambar 2.13. Pasukan “back hoe” berlengan panjang digunakan untuk mengalirkan lumpur panas ke Kali Porong, karena lumpur tersebut sangat pekat dan ketinggian antara titik pusat semburan dengan Kali Porong yang hampir sama. Di samping itu pompa sedot dan kapal keruk digunakan untuk membantu mempercepat aliran lumpur ke Kali Porong (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 2.14. Pompa sedot air digunakan untuk menyedot lumpur LUSI dan membuangnya ke Kali Porong (kiri). Karena yang digunakan pompa sedot air, maka pompa sering mendapat masalah dalam pengoperasiannya. Usaha mengalirkan endapan lumpur tersebut juga menggunakan kapal keruk untuk mendorong lumpur tersebut ke Kali Porong (kanan) (Zaennudin, dkk, 2010).

Sebaran endapan semburan lumpur panas ini dikontrol dengan membuat tanggul di sekitarnya. Tanggul paling luar setinggi 9 m dengan lebar sekitar 8 m pada bagian atasnya. Endapan lumpur ditampung dalam kolam raksasa seluas 840 ha, sehingga beban dari endapan lumpur dan tanggul itu sendiri cukup besar dan dapat mempengaruhi struktur lapisan batuan di sekitarnya sampai beberapa puluh meter ke bawah. Tanggul dirancang untuk menahan sebaran lumpur, tetapi  kenyataannya banyak terdapat air. Adanya deformasi membuat keretakan pada tanggul. Retakan itu kemudian terisi oleh air dan terjadi erosi yang mengakibatkan tanggul jebol. Pada waktu debit semburan lumpur panas mencapai puncaknya, peristiwa jebolnya tanggul kerap terjadi. Sehingga pemeliharaan tanggul berkurang karena tanggul harus ditambah dan dipadatkan terus – menerus, jika sedikit saja dikurangi aktivitas penanggulangan, maka tanggul penahan tersebut akan bocor dan akhirnya jebol.
Untuk mengurangi resiko bahaya dari ancaman banjir lumpur air karena tanggul tidak kuat menahan tekanan yang terus bertambah, dilakukan pengurangan endapan lumpur bercampur air dengan mengalirkan sebagian endapan tersebut ke Kali Porong melalui bantuan pompa sedot dan kapal keruk. Tetapi volume lumpur yang teralirkan ke kali sangat sedikit, tidak sebanding dengan volume lumpur yang dierupsikan oleh LUSI. Sehingga endapan lumpur semakin besar seiring bertambahnya waktu.

2.3. GEOLOGI LINGKUNGAN
2.3.1. Pengertian Geologi Lingkungan
Geologi adalah suatu ilmu yang mempelajari susunan, bentuk, sejarah perkembangan bumi dan makhluk yang pernah hidup di dalam dan di atas bumi, serta proses - proses yang telah, sedang, dan akan bekerja di bumi. Adapun “Lingkungan’ secara umum dapat diartikan sebagai hubungan antara suatu obyek (entity) dengan sekitarnya, dapat bersifat aktif maupun pasif, dinamis maupun statis. Dengan demikian geologi lingkungan dapat dianalogikan bahwa bumi sebagai suatu obyek yang dipengaruhi oleh lingkungannya, termasuk di dalamnya adalah manusia sebagai salah satu unsur yang mempengaruhinya.
Geologi lingkungan pada hakekatnya merupakan ilmu geologi terapan yang ditunjukkan sebagai upaya memanfaatkan sumberdaya alam dan energi secara efisien dan efektif untuk memenuhi kebutuhan perikehidupan manusia masa kini dan masa mendatang dengan seminimal mungkin mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Dengan kata lain geologi lingkungan dapat diartikan sebagai penerapan informasi geologi dalam pembangunan terutama untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk meminimalkan degradasi lingkungan sebagai akibat perubahan -  perubahan yang terjadi dari pemanfaatan sumberdaya alam (Djauhari Noor, 2006).
Definisi lain dari geologi lingkungan yaitu interaksi antara manusia dengan lingkungan geologis yang terdiri dari unsur -  unsur fisik bumi (batuan, sedimen, tanah, fluida) dan unsur permukaan bumi, bentang alam dan proses -  proses yang mempengaruhinya. Bagi kehidupan manusia, lingkungan geologis tidak hanya memberikan unsur - unsur yang menguntungkan/ bermanfaat seperti ketersediaan air bersih, mineral ekonomis, bahan bangunan, bahan bakar dan lain - lain, tetapi juga memiliki potensi bagi terjadinya bencana seperti gempabumi, letusan gunung api, dan banjir (scribd, 2010).
Pada hakekatnya hubungan antara ilmu geologi dan lingkungan tidak dapat dipisahkan, mengingat permasalahan lingkungan yang muncul sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya alam merupakan subyek dan obyek dari ilmu geologi. Geologi lingkungan pada awalnya merupakan ilmu yang kurang mendapat perhatian dari para ahli teknik maupun para pembuat kebijakan, namun seiring dengan bertambahnya populasi manusia di planet bumi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi telah memicu manusia mengeksporasi dan eksploitasi kekayaan sumberdaya alam secara besar -  besaran yang kemudian berdampak pada kelangkaan sumberdaya alam serta kerusakan lingkungan. Sebagai akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan prinsip - prinsip pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan telah menyebabkan beberapa wilayah di muka bumi mengalami penurunan kualitas lingkungan dan ilmu geologi lingkungan mulai mendapat perhatian dari para ahli teknik maupun para pengambil keputusan.

2.3.2. Geologi  dan Perencanaan Tata Guna Lahan
2.3.2.1. Proses Perencanaan Tata Guna Lahan
1.      Tahap Satu : Batasan permasalahan dan tujuan
Pada tahap ini permasalahan umum yang harus dikaji adalah melakukan inventarisasi pada areal lahan yang akan dimanfaatkan untuk suatu tujuan tertentu.
2.      Tahap Dua : Latar belakang penetapan peruntukan lahan
Permasalahan -  permasalahan yang muncul pada tahap awal harus ditindaklanjuti dengan melakukan pengkajian terhadap faktor -  faktor apa saja yang akan berdampak apabila lahan tersebut dimanfaatkan.
3.      Tahap Tiga : Rencana persiapan
Pada tahap rencana persiapan, faktor yang harus dikaji secara komprehensif adalah fungsi penggunaan masing - masing lahan secara rinci dan spesifik, yang harus dilakukan adalah menetapkan peruntukan lahan dari rencana umum (global) pada setiap fungsi lahan sebagai  hasil keputusan  dan kesepakatan pada tahap awal.
4.      Tahap Empat : Implementasi dan pembuatan regulasi
Dalam proses perencanaan, tahap akhir merupakan tahap yang paling kritis dari seluruh rangkaian proses perencanaan tata guna lahan.

2.3.2.2. Penetapan Peruntukan Lahan
Para perencana umumnya melihat pertumbuhan dan perkembangan suatu wilayah serta perubahan yang terjadi sebagai suatu hal yang wajar dan perubahan merupakan hasil perkembangan yang terjadi secara alamiah dan kontinyu. Kondisi lingkungan yang ada pada saat ini merupakan cermin dari hasil penetapan tata guna lahan pada masa lalu (ditinjau dari sudut pandang ekonomi, politik, sosial, dan fisik). Oleh karena itu dalam perkembangannya perlu adanya umpan balik guna mengetahui mengapa perubahan tata guna lahan terjadi dan usaha - usaha apa saja yang harus dilakukan supaya perubahan tata guna lahan bermanfaat bagi masyarakat. Penetapan peruntukan dan perubahan tata guna lahan akan berdampak pada lingkungan dan akan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya, sehingga menjadi sangat kompleks. Perubahan lingkungan dapat pula mengakibatkan perubahan peruntukan lahan dari peruntukannya semula. Satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan peruntukan lahan adalah perubahan tata nilai dan perkembangan tekhnologi dapat merubah peruntukan suatu lahan

2.3.2.3. Geologi lingkungan dan Pembuat Kebijakan / Pengambil Keputusan
Di dalam perencanaan tata guna lahan, lingkungan alamiah merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan dan seyogyanya hal ini sudah menjadi pengetahuan dari para perencana. Para perencana harus mengetahui komponen - komponen apa saja yang menyusun dan mempengaruhi bentuk bentang alam, seperti proses - proses alam yang merubah bentuk lahan. Pengetahuan lainnya yang harus dimiliki oleh para perencana adalah relevasi antara bentuk lahan dengan proses -  proses geologi yang bekerja pada lahan tersebut, sehingga dapat ditentukan apakah suatu lahan itu sebagai sumberdaya atau sebagai sumber bencana.
Sumberdaya lahan, seperti tanah (soil) dan endapan mineral dapat dikembangkan  terutama jika lahan tersebut bermanfaat secara maksimal bagi masyarakat. Tanah (soil) dapat juga menjadi bencana apabila tanah tersebut bersifat mudah mengembang (swelling) dan menyusut (shrinkage) serta tanah yang berada di lereng -  lereng bukit yang berpotensi longsor dengan tingkat bencana yang bervariasi. Disamping itu lahan yang mudah longsor dapat merupakan sumberdaya apabila dikonversi menjadi lahan taman atau dibiarkan sebagai lahan terbuka. Berdasarkan sudut pandang perencanaan, bentuk lahan dapat dikatagorikan menjadi 2 (dua) potensi geologi, yaitu lahan yang berpotensi sebagai sumberdaya dan lahan yang berpotensi sebagai bencana atau kedua -  duanya.
Keberhasilan dari suatu keputusan sangat tergantung pada ketersediaan data dan informasi yang lengkap dan akurat dan dalam bentuk yang mudah dipahami. Dari sudut pandang perencanaan, lingkungan geologi menyediakan 2 (dua) jenis sumberdaya. Kedua sumberdaya ini harus dipisahkan dan keduanya harus dimanfaatkan ditempatnya. Sebagai contoh adalah sumberdaya yang dimanfaatkan di tempat dimana sumberdaya itu berada, yaitu: lingkungan pantai, pegunungan, gurun, lembah yang sesuai untuk tempat rekreasi. Sumberdaya lainnya yang dimanfaatkan di tempatnya adalah akuifer air bawah tanah dan tanah dimana airnya diserap oleh tumbuhan dan tanaman. Dengan demikian, perencanaan untuk lingkungan fisik harus semaksimal mungkin memenuhi kebutuhan manusia. Dalam hal ini peran dari para perencana di dalam menetapkan tata guna lahan yaitu harus memenuhi keempat aspek: ekonomi, sosial, politik, dan fisik. Perencana juga harus mengenal dan memonitor keterbatasan - keterbatasan yang ada di pihak pemerintah sehingga perencanaan dapat ditingkatkan. Lingkungan geologi merupakan bagian terpenting dari lingkungan fisik dimana para perencana harus memahaminya.

2.3.2.4. Perencanaan Tata guna Lahan Daerah Rawan Bencana Geologi
Untuk dapat hidup secara aman dan nyaman selaras dengan perubahan bumi, maka kita harus dapat memahami lingkungan alam dan kecepatan perubahan yang terjadi di bumi, serta mampu menyesuaikan diri dari karakteristik perubahan alam tersebut. Berkaitan dengan reaksi manusia terhadap bencana alam yang mungkin terjadi di lingkungan dimana manusia itu tinggal adalah sebagai berikut:
-          Menghindar (Avoidance)
Reaksi manusia terhadap potensi bencana alam yang paling banyak adalah dengan cara menghindar, yaitu dengan cara tidak membangun dan menempatkan bangunan di tempat - tempat yang berpotensi terkena bencana alam seperti daerah banjir, daerah rawan longsor atau daerah rawan gempa.
 
-          Stabilisasi (Stabilization)
Beberapa bencana alam dapat distabilkan dengan cara menerapkan rekayasa keteknikan, seperti misalnya di daerah - daerah yang berlereng dan berpotensi longsor, yaitu dengan cara membuat kemiringan lereng menjadi landai dan stabil serta membuat fondasi bangunan dengan tiang pancang hingga lapisan tanah menjadi stabil.

-          Penetapan persyaratan keselamatan bangunan (Provision for safety in structures)
Dalam banyak kasus bangunan yang akan didirikan di tempat-tempat yang berpotensi terjadi bencana alam, seperti gempa bumi, maka struktur bangunan harus dirancang dengan memperhitungkan keselamatan jiwa manusia, yaitu dengan bangunan yang tahan gempa.

-          Pembatasan penggunaan lahan dan jumlah jiwa (Limitation of land -  use and occupancy)
Jenis peruntukan lahan, seperti lahan pertanian atau lahan pemukiman dapat dilakukan dengan cara membuat peraturan -  peraturan yang berkaitan dengan potensi bencana yang mungkin timbul. Penempatan jumlah jiwa per hektar dapat disesuaikan untuk mengurangi tingkat bencana.

-          Membangun sistem peringatan dini (Establishment of early warning system)
Beberapa bencana alam dapat diprediksi, sehingga memungkinkan tindakan darurat dilakukan. Banjir, gelombang laut, tsunami, serta erupsi gunung api adalah jenis -  jenis bencana alam yang dapat diprediksikan. Sistem peringatan dini telah terbukti secara efektif dapat mencegah dan meminimalkan bencana yang akan terjadi disuatu daerah.



TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN


3.1. TUJUAN PENELITIAN
Studi tentang semburan lumpur panas atau LUSI di Porong, Sidoarjo dalam kaitannya dengan geologi lingkungan ini, dimaksudkan untuk melatih dan meningkatkan kemampuan studi peneliti dalam hal perencanaan tata ruang dan wilayah serta pemahaman geologi lingkungan yang menyertainya. Tujuan dari studi ini yaitu untuk menganalisa dampak dari lumpur panas Sidoarjo serta rekomendasi dalam penggunaan lahan untuk rencana tata ruang wilayah Porong dan daerah sekitarnya sebagai suatu kawasan yang mengalami bencana geologi, sedangkan tujuan umumnya adalah mempelajari dan menganalisis berbagai faktor geologi lingkungannya.

3.2. MANFAAT PENELITIAN
Kegunaan studi ini mendukung pengembangan ilmu geologi (geologi lingkungan) dengan penekanan pada upaya analisa dampak semburan lumpur panas Porong, Sidoarjo. Sebagai aspek praktis (guna laksana) dapat digunakan untuk studi rencana tata ruang wilayah Porong, Sidoarjo.



METODE PENELITIAN


Metodologi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode tinjauan pustaka / data yang terkait dengan data – data sekunder. Data sekunder diantaranya data geofisika, data geokimia, data deformasi topografi. Data geofisika dengan tujuan untuk mengetahui struktur geologi yang mungkin berkaitan dengan aliran material air, gas, dan lumpur dari bawah permukaan bumi. Data geokimia untuk mengetahui kandungan senyawa kimia serta mencari asal usul atau sumber senyawa yang ditemukan dan dampaknya terhadap lingkungan. Data deformasi topografi dapat mengungkapkan perubahan ketinggian dan posisi geografi suatu tempat pada permukaan bumi di daerah tersebut.
Dari data – data sekunder tersebut kemudian dikaji dan dianalisa dampak geologi lingkungannya terhadap daerah Porong Sidoarjo dan sekitarnya. Dengan analisa ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan pada perumusan masalah. Tujuan akhir dari studi ini adalah untuk menghasilkan sintesis yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menanggulangi dampak semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo dan daerah sekitarnya.



HASIL DAN PEMBAHASAN


Geologi Tata Lingkungan merupakan media dalam penerapan informasi geologi melalui penataan ruang dalam rangka pengembangan wilayah dan pengelolaan lingkungan, yaitu memberikan informasi tentang karakteristik lingkungan geologi suatu lokasi/wilayah berdasarkan keterpaduan dari aspek sumber daya geologi sebagai faktor pendukung dan aspek bencana geologi sebagai faktor kendala. Selanjutnya hasil kajian geologi lingkungan menggambarkan tingkat keleluasaan suatu wilayah untuk dikembangkan.
Tingkat keleluasaan (restraint) suatu wilayah untuk dikembangkan pada dasarnya menggambarkan tingkat kemudahan dalam pengorganisasian ruang kegiatan maupun pemilihan jenis penggunaan lahan (Indra Badri, 2005). Pengertian keleluasaan adalah peringkat wilayah yang dapat dikembangkan sebagai kawasan budi daya, arti leluasa dalam pemilihan penggunaan lahan dan mudah dalam pengorganisasian ruang.
Tersedianya data dan informasi geologi lingkungan dapat dijadikan bahan masukan dan sekaligus evaluasi terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota yang sudah ada maupun yang akan disusun terutama berguna untuk :
-          Memberi gambaran secara garis besar rekomendasi dalam penggunaan lahan ditinjau dari geologi lingkungan dan sebagai bahan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota maupun bagi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kecamatan.
-          Memberi gambaran mengenai faktor pendukung dan kendala geologi lingkungan bagi pembangunan wilayah dan pengelolaan lingkungan secara keseluruhan.

Penyusunan informasi Geologi Lingkungan dilakukan dengan menggabungkan informasi dari peta tematik geologi maupun peta non – geologi. Informasi geologi lingkungan dapat membantu mengatasi permasalahan lingkungan dan upaya pengelolaannya melalui rekomendasi penggunaan lahan dan juga menyediakan alternatif pemecahan permasalahannya.
Analisis geologi lingkungan menggunakan metode pembobotan/skoring secara kuantitatif dan penilaian para ahli ditumpang susun (overlay) dari peta – peta tematik secara manual maupun dengan Sistem Informasi Geografi (SIG).

5.1. KRONOLOGI
Tanggal 29 Mei 2006 terjadi semburan liar lumpur panas bercampur gas dari sumur eksplorasi migas Banjar panji-1 milik PT. Lapindo Brantas di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Rencana target pemboran adalah Formasi Kujung, tetapi mengalami kegagalan setelah mata bor mencapai kedalaman 2.833 m. Semburan lumpur pertama terjadi pada jarak 200 m sebelah barat daya sumur bor Banjar panji-1. 

Gambar 5.1. Semburan lumpur panas Sidoarjo terjadi hanya beberapa puluh meter dari kompleks pabrik yang ada di Desa Siring. Dalam kurun waktu beberapa bulan saja endapan lumpurnya telah menenggelamkan pabrik di sekitar pusat semburan (Foto: PT. Lapindo Brantas, 2006).

Tanggal 2 Juni 2006 muncul semburan kedua dan diikuti munculnya semburan lumpur ketiga pada hari berikutnya. Lokasi semburan kedua dan ketiga terletak pada jarak 500 m dan 800 m di sebelah timur laut sumur bor, namun kedua semburan terakhir tersebut berhenti pada tanggal 5 Juni 2006.

Gambar 5.2. Foto semburan LUSI dengan menggunakan thermal camera, terlihat aliran lumpur tersebut bagaikan aliran lava dari suatu gunung api. Foto diambil pada bulan Juni 2007 (Zaennudin, dkk, 2010).

Semburan lumpur pertama terus meluap menggenangi wilayah di sekitarnya, bahkan terus meluas sampai ke pemukiman beberapa desa serta kawasan industri yang berlokasi di sekitar pusat semburan. Bahkan jalan tol Porong - Sidoarjo yang menghubungkan Surabaya dan Malang ikut terendam. Pada 21 Juni 2006 PT. Lapindo Brantas mengkalkulasi volume lumpur yang telah menggenangi wilayah di sekitarnya sebesar 1,1 juta m3 dengan ketebalan antara 3,5 - 6,4 m dan debit semburan rata – rata 40.000 – 50.000 m3 per hari. Pada 4 Juli 2006 luapan lumpur tersebut telah memaksa 6.915 orang penduduk mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Seiring dengan bertambahnya waktu, debit semburan meningkat terus yang akhirnya mencapai 150.000 m3 perhari pada awal 2008. Dengan melihat dampak negatif akibat semburan lumpur panas yang begitu besar, baik sosial, ekonomi, maupun politik, maka akhirnya pemerintah Republik Indonesia menetapkan peristiwa semburan lumpur panas Sidoarjo tersebut sebagai bencana alam. Dan wilayah yang tertutupi oleh endapan lumpur tersebut ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Geologi berdasarkan Perda No. 6 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo 2009 – 2029.
Pada awal tahun 2008 di Desa Siring bagian barat yang berjarak ± 1 km di sebelah barat pusat semburan banyak di temukan tembusan/bualan gas yang muncul dari dalam sumur – sumur penduduk maupun retakan – retakan tanah. Bahkan dari dalam sumur – sumur bor berkedalaman 70 m atau lebih di rumah – rumah penduduk maupun di pabrik – pabrik yang berada di kawasan tersebut dan menyemburkan air bercampur gas dengan tekanan tinggi. Hasil pengamatan dan pengukuran yang dilakukan dekat pusat semburan pada saat itu menunjukkan bahwa semburan lumpur masih berlangsung cukup intensif dengan debit antara 75.000 – 150.000 m3 per hari.
Pada bulan Februari 2009 telah dilakukan pengamatan ke pusat semburan lumpur dari pinggir tanggul cincin utama sebelah selatan. Tampak aktivitas semburan lumpur panas masih berlangsung sangat intensif dengan hembusan asap putih tebal bertekanan lemah. Tinggi asap kadang bisa mencapai ketinggian 200 m lebih dengan luas areal yang tergenang oleh luapan lumpur mencapai 840 ha lebih.

Gambar 5.3. Hembusan uap air bersama dengan gas yang didominasi gas hidrokarbon terlihat membumbung setinggi 75 – 100 m di pusat semburan.  Temperatur lumpur dari semburan lumpur tersebut berkisar antara 95o-100oC. Pada awal semburan sampai tahun 2008 komposisi material padat 30% berbanding dengan air 70%. Foto diambil pada bulan Juni 2007 (Zaennudin, dkk, 2010).

Semburan lumpur panas tersebut terjadi di lingkungan padat penduduk dan wilayah perindustrian sehingga mengakibatkan perumahan, sekolah, masjid, pesantren, pabrik, dan infrastruktur lainnya terkubur oleh endapan lumpur tersebut. Jalan tol yang menghubungkan Porong – Sidoarjo putus, pipa gas dan pipa air dari PDAM pecah, rel kereta api bengkok, dan juga telah menelan korban sebanyak 9 orang. Debitnya yang sangat besar menyebabkan sebarannya tidak terkontrol, dan untuk mengarahkan alirannya dibuat tanggul cincin di sekitar titik pusat semburannya sehingga mengalir ke arah selatan dan akhirnya ke Kali Porong dengan menggunakan pompa. Walaupun tanggul cincin ini akhirnya tidak dapat dipertahankan dan tenggelam.
Semburan lumpur panas tersebut merupakan fenomena alam yang disebut sebagai mud volcano atau gunung lumpur.  Mud volcano adalah suatu bentuk gunung atau bukit yang terbentuk dari campuran air panas, lumpur, dan lempung, dapat mencapai ketinggian 25 m. Lumpur mengalir dari lubang vent, bagaikan aliran lava dari suatu gunung api yang mengalir dari lubang kepundannya.
 
Gambar 5.4. Ledakan pipa gas yang terjadi pada tanggal 22 November 2006 akibat deformasi (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.5. Salah satu akibat semburan lumpur adalah rusaknya infrastruktur berupa bengkoknya rel kereta api yang berada di pinggir jalan Porong – Sidoarjo pada KM 39,2 (Zaennudin, dkk, 2010).
 
Semburan lumpur panas Sidoarjo merupakan proses pembentukan gunung lumpur (mud volcano) yang sedang berlangsung. Pembentukan gunung lumpur adalah fenomena alam yang lazim dijumpai di dunia terutama pada jalur tumbukan tektonik lempeng seperti di Azerbaijan (Planke et al., 2003) dan di Indonesia. Lokasi – lokasi lainnya di Mississippi (Neurauter dan Bryant, 1990), dan pada lereng bawah laut yang dipicu oleh gravitasi terjadi di Delta Nigeria (Graue, 2000).

Gambar 5.6. Semburan lumpur panas setinggi 8 – 10 m, terdiri atas fragmen batuan, lumpur, dan air yang terdorong oleh gas dan uap air dari bawah permukaan. (Foto: PT. Lapindo Brantas).

Kemunculan lumpur dari suatu kedalaman ke permukaan dengan cara menembus lapisan penutup dan membawanya sampai ke permukaan memerlukan energi yang cukup besar. Pembentukan gunung lumpur adalah salah satu proses recycling tersebut. Tetapi penyelidikan dalam proses recycling cairan yang ada di bawah permukaan dan proses sedimentasi yang berhubungan dengan sistem gunung lumpur masih sangat kurang (Davies et al., 2007).

Gambar 5.7. Jalan tol Gempol–Porong yang terendam aliran LUSI. Banjir lumpur yang menggenang secara tiba– tiba sangat membahayakan pengendara roda empat. Kondisi ini terjadi pada awal semburan hingga akhir 2006. Jalan tol tersebut akhirnya terkubur oleh endapan lumpur panas. (Foto: PT. Lapindo Brantas).

Gambar 5.8. “Out let” pembuangan lumpur LUSI ke Kali Porong dengan cara disedot pompa dari kolam penampungan. Endapan lumpur di muara Kali Porong telah membentuk dataran baru seluas 80 ha. (Foto diambil pada Juni 2007) (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.9. Berkendaraan perahu di atas endapan lumpur masih dapat dilakukan walaupun dengan susah payah. Semburan tersebut semakin lama semakin kental, dengan komposisi 70 – 80% material padat dan sisanya air (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.10. Ratusan dump truck mengangkut sirtu dari daerah sekitarnya untuk tanggul pengendali luapan lumpur dari semburan lumpur panas agar tidak menggenangi dan menimbun pemukiman, pabrik, dan prasarana, serta tempat – tempat ibadah. (Foto diambil pada Juni 2008) (Zaennudin, dkk, 2010).
 
5.2. CITRA SATELIT
Sebaran dan kondisi endapan lumpur panas Sidoarjo dapat dipantau dengan menggunakan satelit IKONOS milik CRIPS – Singapura. Apakah endapan telah mengalami pengeringan atau terjadi adanya tembusan dan semburan gas baru. Beberapa gambar di halaman berikut dibuat oleh CRIPS - Singapura yang jadwal pengambilan gambarnya disesuaikan dengan kebutuhan. Pada awal peristiwa kemunculan semburan LUSI diambil minimal dua kali dalam sebulan, tetapi pada akhir – akhir ini hanya satu kali dalam dua atau tiga bulan.
Berdasarkan pemantauan dari foto satelit tersebut terlihat adanya perubahan visual endapan LUSI. Pada bulan Juni 2008 terlihat endapannya kering. Hal itu terjadi akibat debit semburannya kecil dan pengaruh musim kemarau. Pemandangan lainnya dari gambar tersebut adalah daerah selatan terlihat relatif lebih kering daripada bagian utara. Berdasarkan pemantauan di lapangan dan dibantu dengan citra satelit, diketahui pada kurun waktu itu terjadi subsidence (amblasan­) pada daerah sekitar vent. Hal ini dapat diamati dengan baik pada foto satelit tersebut.
Pada bulan Oktober 2008 terlihat ada bentuk endapan baru yang besar, menyebar ke arah utara dan barat laut sampai menyentuh tanggul Siring.  Pada bulan Desember 2008 tanggul cincin sebagian besar sudah hilang sehingga aliran lumpur tidak dapat diarahkan lagi, tetapi endapannya terlihat kering menandakan bahwa endapan yang terbentuk tidak sebanyak pada bulan – bulan sebelumnya. Struktur seperti kawah terlihat sangat jelas pada foto ini. Tanggul pada bagian timur dan timur laut dibuat di sekitar Renokenongo untuk menampung endapan lumpur yang terus bertambah. Pengisian kolam besar (mega pond) terus berlangsung, dan endapan baru sudah tidak terkendali lagi.
Pada awal tahun 2009 terlihat perubahan yang signifikan dari amblasan di daerah sekitar vent, karena tanggul cincin yang terdapat di bagian tengah sebagian mulai amblas dan tertutupi oleh endapan LUSI. Begitu juga endapan ke arah utara dan timur laut semakin melebar sampai ke wilayah Renokenongo. Tanggul cincin di bagian dalam sudah tidak terlihat lagi, yang ada sekarang hanya tanggul bagian luar, sehingga membentuk kolam penampungan lumpur yang sangat besar.
Hasil pemantauan dengan foto satelit IKONOS, CRISP - Singapura memperlihatkan adanya perkembangan pertumbuhan gunung lumpur (mud volcano) LUSI yang cukup jelas dan signifikan di sekitar titik pusat semburan. Lumpur yang agak pekat terpisah dari air yang disemburkannya. Lumpur yang keluar dari pusat semburan sudah mengental, terlihat mengonggok dan terpisah dari air membentuk morfologi cembung agak meninggi pada bagian tengahnya, seperti gumuk kecil.
Dalam pemotretan CRISP pada bulan September 2009 dan Desember 2009 kenampakan gunung lumpur belum begitu jelas, tetapi hasil pemotretan NASA yang dilakukan pada bulan Oktober 2009 sudah sangat jelas menunjukan gunung lumpur itu sudah mulai nampak bentuknya.
Pada gambar tersebut terlihat sangat jelas adanya bentuk sebaran lumpur yang membundar pada bagian tengah kolam penampungan dengan bagian tepinya dikelilingi air. Dari bagian pusatnya terlihat adanya aliran – aliran lumpur yang keluar dari pusat semburan ke arah bagian tepi dari gunung lumpur tersebut. Adanya aliran air bercampur lumpur berpola radier yang keluar dari pusat semburan mengarah ke luar layaknya aliran lava yang mengalir dari kepundan gunungapi.
Perkembangan pertumbuhan gunung lumpur itu semakin jelas bentuknya seiring dengan bertambahnya waktu. Hasil pemotretan CRISP pada 9 Februari 2010 menunjukkan bentuk gunung lumpur tersebut semakin jelas. Pada saat dilakukan penyelidikan diketahui bahwa debit semburan LUSI tersebut semakin kecil. Hasil perhitungan secara kisaran menunjukkan debit semburan tersebut sekitar 20.000 m3 per hari. Sudah sangat jauh berkurang dari volume debit sebelumnya yang diperkirakan antara 70.000 m3 sampai 150.000 m3 per hari.

Gambar 5.11. Sebaran lumpur LUSI pada Juni – Desember 2008 dilihat dari foto satelit IKONOS, CRISP. Terlihat adanya arah aliran lumpur yang secara alamiah ke utara. Daerah selatan terlihat cukup stabil tidak ada penurunan yang signifikan, bahkan endapan lumpur di bagian ini sebagian telah mengering. Oleh karena usaha mengalirkan lumpur ke Kali Porong yang ada di bagian selatan banyak mengalami hambatan, dan sebaran endapan ke arah utara semakin meluas (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.12. Endapan LUSI sebagian besar mengalir ke arah utara, barat laut, dan timur laut membentuk kolam besar dengan tanggul penahan sebaran lumpur hanya terdapat pada bagian luar saja. Ini merupakan ancaman yang cukup serius bila tanggul luar tersebut jebol akan mengakibatkan banjir lumpur yang sangat besar bagaikan banjir bandang. Pada bulan Maret 2009 tanggul cincin tenggelam ke dasar kolam (Zaennudin, dkk, 2010).
Gambar 5.13. Foto satelit IKONOS dari CRISP pada bulan September 2009 dan Desember 2009. Endapan lumpur panas sudah terlihat pemisahan antara lumpur pekat dengan air. Lumpur pekat membentuk endapan berpola radier dengan titik pusat semburan di bagian tengahnya (Zaennudin, dkk, 2010).
Gambar 5.14. Bentuk gunung lumpur LUSI sudah nampak lebih jelas pada foto satelit IKONOS CRISP pada 9 Februari 2010. Terlihat pada bagian pinggirnya agak kering dan bagian tengahnya menyerupai kawah pada gunungapi, terbentuk oleh lumpur yang masih lunak. Pada foto 31 Mei 2010 terlihat adanya aliran lumpur bercampur air ke arah barat daya. Hal ini terjadi setelah terbentuknya titik semburan baru di sebelah barat pada 8 April 2010 dan titk semburan kedua di sebelah baratnya berjarak sekitar 100 m dari titik pusat semburan pertama. Titik semburan kedua ini terjadi pada 10 April 2010. Semburan pertama, kedua, dan ketiga pada saat itu telah berhenti, digantikan lagi oleh titik semburan ke empat yang berada di tengah semburan kedua dan ketiga (Zaennudin, dkk, 2010).

5.3. GEOLOGI LINGKUNGAN KAWASAN “LUSI”
Studi Geologi Lingkungan Regional Kabupaten Sidoarjo membagi Kawasan LUSI dalam dua zona, yaitu tidak leluasa dan tidak layak (Badri dkk, 2007). Zona tidak leluasa merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng 0–5%, daya dukung fondasi bangunan rendah, dan air tanah dengan akuifer setempat produktif. Zona tersebut direkomendasikan sebagai kawasan ruang terbuka hijau, kawasan pertanian, pemukiman, dan kawasan penyangga (buffer zone). Tetapi zona ini memiliki kendala geologi yang relatif tinggi berupa genangan lumpur panas, amblasan, pemunculan gas yang disertai gas berbahaya.
Zona tidak layak terdapat pada wilayah di dalam kolam lumpur hasil semburan LUSI. Wilayah ini tidak dapat dikembangkan karena merupakan endapan lumpur dari semburan tersebut dan direkomendasikan untuk dijadikan Kawasan Lindung Geologi.

Gambar 5.15. Amblasan tanah dan rekahan tanah yang terjadi akibat semburan LUSI, dijumpai pada wilayah di sebelah barat dan barat laut dari semburan tersebut. Pada rekahan – rekahan tanah tersebut dijumpai tembusan dan semburan gas (Zaennudin, dkk, 2010).
Gambar 5.16. Semburan LUSI yang menghasilkan lumpur dan air menggenangi wilayah di sekitarnya baik pemukiman, pabrik, tempat ibadah, sarana dan prasarana seluas 840 ha. Terlihat adanya tanggul pengendali endapan lumpur LUSI, tetapi tanggul tersebut sering jebol (Zaennudin, dkk, 2010).

5.4. HIDROLOGI
Semburan LUSI telah mengakibatkan terjadinya perubahan pada kondisi geologi bawah permukaan, juga akan berpengaruh pula terhadap tatanan hidrogeologi (hydrogeological setting) dalam sistem akuifer di daerah ini, baik akuifer dalam maupun akuifer dangkal. Hal ini dapat dimengerti mengingat air tanah sebagai bagian dari siklus peredaran air di bumi (siklus hidrologi) yang keberadaannya di dalam sistem akuifer sangat tergantung pada berbagai faktor yang terkait dengan siklus tersebut. Dalam hal ini sangat berhubungan dengan satuan hidrostratigrafi satuan batuan yang ada di daerah tersebut.
Batuan yang ada di daerah LUSI dan sekitarnya secara hidrogeologi dibedakan menjadi batuan lepas dan batuan padu yang mempunyai kesarangan dan kelulusan berbeda – beda serta memiliki sifat keairan yang berbeda pula. Batuan lepas berukuran butir pasir atau lebih kasar serta batuan padu yang memiliki celahan atau rekahan dapat bertindak sebagai akuifer, sedangkan batuan lepas berbutir lempung serta batuan padu tak bercelah tidak dapat bertindak sebagai akuifer.
Akuifer adalah lapisan batuan yang dapat menyimpan dan melalukan air dalam jumlah yang cukup berarti. Akuifer yang terdapat di daerah sekitar semburan LUSI berupa pasir, kerikil, kerakal, batupasir, konglomerat, dan batugamping.
Secara umum metoda hidrogeologi yang dilakukan dalam kajian ini adalah dengan membuat hipotesis awal terjadinya fenomena semburan lumpur panas berdasarkan hasil kajian data penyelidikan yang banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Selanjutnya dilakukan kajian langsung di lapangan dengan mengukur dan mengamati kondisi kuantitas dan kualitas air tanah mulai dari titik semburan utama, bualan yang muncul di dalam maupun di luar tanggul, dan berbagai aspek hidrogeologi serta aspek lingkungan lain yang terkait dengan air tanah.
Hasil pengamatan hidrogeologi baik yang berasal dari data langsung di lapangan maupun data sekunder (dari berbagai instansi terkait) diolah, dievaluasi, dan dianalisis dengan pendekatan hidrogeologi untuk membuat hipotesis sistem aliran air tanah di wilayah Porong. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penanganan dampak semburan lumpur.
Berdasarkan Peta Hidrogeologi Lembar Kediri skala 1 : 250.000 (Soekardi, 1984) diketahui bahwa potensi air tanah kawasan ini termasuk dalam kategori produktif sedang dengan penyebaran luas, muka air tanah beragam serta sumur berdebit kurang dari 51/detik. Kedudukan akuifer bebas antara 20 – 40 m (bmt) dan kedalaman muka air tanah di bagian utara antara <1 sampai 4 m (bmt) hingga 2010. Sedangkan kedudukan akuifer tertekan berada pada kedalaman antara 60 m sampai 150 m (bmt) yang umumnya dimanfaatkan untuk keperluan industri dan pemukiman.
Gambar 5.17. Peta produktivitas air tanah kawasan Porong (Modifikasi Indra Badri, 2008).

Sebelum ada semburan LUSI muka air tanah umumnya terdapat kurang dari 10 m di bawah permukaan tanah, tetapi pada tahun 2008 setelah dua tahun terjadi semburan tersebut pada beberapa sumur di wilayah Siring bagian barat dan Mindi mengalami meluah sendiri (flowing well).
Dari penampang bor sumur Banjar panji-1 diketahui adanya akuifer tertekan pada kedalaman 6.200 – 9.297 kaki berupa lapisan batupasir vulkanik, berupa abu sampai berbutir kasar (PT. Lapindo Brantas, Juni). Lapisan batuan tersebut pada kedalaman 6.000 kaki ditindih oleh batulempung berwarna abu – abu. Air panas yang menyembur di pusat semburan LUSI yang membawa serta batulempung yang telah berubah bentuk menjadi fragmen berukuran lumpur sampai kerikil (1-3 cm) berasal dari lapisan batupasir vulkanik dan batulempung tersebut. Temperatur semburan LUSI berkisar 95o – 100oC terukur di semburan LUSI diduga dari air formasi yang sebelum mencapai permukaan bertemperatur antara 200o – 220oC yang bersumber dari lapisan batupasir vulkanik pada kedalaman 6.200 – 9.297 kaki atau lebih.
Gambar 5.18. Temperatur air panas dengan kedalaman sumbernya sekitar 6.200 – 9.297 kaki (BPPT, 2007).

Hasil penelitian Badan Geologi (2009) air panas yang menyembur bersama lumpur dan gas adalah air magmatik yang telah terpengaruh oleh batuan plutonik yang tengah dalam proses pendinginan. Batu plutonik ini berada di bawah batugamping yang ada dalam log  bor Banjar panji-1, dan gas yang keluar bersama material air dan lumpur diperkirakan berasal dari formasi batugamping tersebut yang telah mengalami destruksi oleh panas batuan plutonik tersebut.
Gambar 5.19. Penampang sumur Banjar panji-1. a. data log sumur, b. data bor (PT. Lapindo Brantas, 2006).

5.5. DAMPAK “LUSI”
Hasil pemantauan yang dilakukan pada tahun 2008 sampai 2010 menunjukan adanya beberapa dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat proses semburan LUSI. Dampak dan ancaman bahaya yang timbul adalah genangan lumpur, amblasan, retakan tanah dan bangunan, bualan gas, serta semburan gas yang disertai oleh gas berbahaya.
 
5.5.1. Genangan Lumpur
Debit semburan lumpur ketika pertama kali terjadi sekitar 5.000 m3 per hari dengan suhu 100oC, setinggi sekitar 65 m di atas muka tanah. Kemudian debit semburan bertambah besar seiring dengan bertambahnya waktu sampai mencapai maksimum sebesar 120.000 m3 per hari pada kurun waktu antara Juni 2008 sampai dengan pertengahan 2009. Pada awal 2010 debit semburan kemudian menurun menjadi sekitar 20.000 m3 per hari dan Agustus 2010 debitnya menurun lagi menjadi sekitar 5.000 m3 per hari (BPLS).

Gambar 5.20. Pada genangan lumpur, tembusan dan semburan gas LUSI. (A) Genangan primer: lumpur dari pusat semburan telah mengering. (B) Genangan sekunder: lumpur dan air. (C) Genangan tersier: dominan air. (D) Semburan gas yang kadang – kadang disertai air. (E) Tembusan gas dan semburan gas pada daerah industri dan pemukiman. (F) Daerah aman berupa daerah pertanian dan pemukiman (Sumber: Badri, 2008).

Hingga tahun 2010 genangan lumpur akibat semburan LUSI telah menenggelamkan beberapa desa dan infrastruktur penting seperti jalan tol dan lainya. PT. Lapindo Brantas dan BPLS menanggulangi semburan lumpur LUSI dengan membuat tanggul pengendali aliran lumpur. Lumpur ditampung dalam kolam penampung (setting pond) yang terbagi dalam beberapa kolam penampungan.
Pada awalnya aktivitas pengaliran lumpur tersebut berjalan cukup baik dengan adanya tanggul cincin pada bagian pusat semburannya. Tetapi tanggul cincin tersebut pada awal 2009 tenggelam ke dasar kolam penampungan sehingga aliran lumpur tidak dapat dikontrol lagi. Akhirnya lumpur mengalir ke segala arah kecuali ke arah selatan yang memang morfologinya relatif lebih tinggi dari ketinggian pusat semburan.

5.5.2. Penurunan dan Pengangkatan Permukaan Tanah
Peristiwa semburan lumpur panas LUSI ini telah menyebabkan pula terjadinya penurunan tanah yang menyebabkan kerusakan pada infrastruktur, pabrik, dan rumah warga. Indikasi adanya penurunan permukaan tanah pada awalnya diketahui dari adanya perubahan konstruksi pada jembatan layang (fly over) yang melintasi jalan raya Porong – Sidoarjo. Di jembatan tersebut ditemukan adanya retakan pada tanah yang memotong badan jalan, yang juga ditemukan pada bangunan pabrik dan rumah – rumah penduduk di sekitar wilayah Siring bagian barat. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa di daerah tersebut telah terjadi pergerakan tanah sehingga terbentuk retakan – retakan yang juga dapat menjadi jalan gas muncul ke permukaan. Pada beberapa lokasi bualan gas kadang kala disertai air, lumpur, dan material padat lainnya.
Penelitian geofisika dengan menggunakan metoda georadar, geolistrik, dan seismik pantul mengindikasikan adanya sejumlah retakan di Siring bagian barat, Ketapang, Mindi, dan Kali Tengah. Retakan – retakan tersebut pada umumnya berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Adanya retakan dan rekahan terkait dengan deformasi akibat adanya fenomena semburan LUSI dan zona lemah dari sesar yang terdapat di wilayah ini. Indikasi sesar ini dikuatkan dengan ditemukannya kelurusan pemunculan bualan gas, rembesan minyak, dan gawir sesar yang terdapat di sekitar Watukosek. Bualan gas pada umumnya muncul melalui retakan dan rekahan yang terjadi pada zona lemah di sekitar LUSI.
Dampak dari retakan dan rekahan pada tanah berimplikasi pada kerusakan bangunan, rumah penduduk, pabrik – pabrik, sarana ibadah, dan badan jalan. Kerusakan tersebut terjadi di daerah Mindi, Jatirejo, Siring bagian barat, Ketapang, dan Kali Tengah.
Rekahan dan retakan di Desa Siring bagian barat yang berlokasi di sebelah barat titik pusat semburan mempunyai arah utara – selatan, sedangkan yang terjadi di Desa Ketapang berarah barat daya – timur laut. Retakan dan rekahan pada bangunan rumah ini terdapat sangat bervariasi antara 1 – 3 cm, disamping itu fondasi dari beberapa rumah mengalami penurunan antara 1 – 5 cm dengan pola yang melingkar terhadap titik pusat semburan.
Penurunan permukaan tanah dan retakan – retakan pada dinding bangunan terus berlangsung, seperti yang terjadi pada daerah sebelah barat tanggul LUSI sampai radius 1,9 km. Hal ini menunjukkan daerah  ini telah mengalami dislokasi perlapisan di bawah permukaan yang ditandai dengan munculnya bualan gas yang fluktuatif. Proses penurunan tanah ini disebabkan oleh gabungan antara adanya pengosongan massa di bawah LUSI, stuktur geologi yang ada di wilayah ini, dan pembebanan akibat adanya endapan lumpur serta penambahan lebar dan tinggi dari tanggul pengendali lumpur.
Di samping gejala penurunan tanah, terdapat pula gejala pengangkatan (uplift) tanah. Pengangkatan permukaan tanah ini dapat terlihat berdasarkan interpretasi INSAR (Deguchi et al., 2007) dan juga dari hasil pemantauan deformasi dengan metoda GPS yang dilakukan Badan Geologi selama tahun 2007 – 2010. Gejala pengangkatan tersebut pada wilayah barat daya semburan LUSI (Badan Geologi), sedangkan hasil interpretasi INSAR (Deguchi, 2007) terdapat di bagian barat laut dan timur dari LUSI.

Gambar 5.21. Amblasan pada badan jalan di wilayah Siring bagian barat, terlihat juga ada bualan gas yang muncul. Karena deformasi sehingga terjadi penurunan badan jalan disertai retakan. Retakan inilah sebagai jalan keluarnya gas hidrokarbon dari bawah permukaan. Deformasi masih terus berlangsung seiring dengan aktivitas semburan LUSI yang masih terjadi. Dinamika deformasi ini mengakibatkan retakan baru yang kadang kala menutup retakan yang telah ada, sehingga bualan gas (bubbles) muncul ke permukaan secara fluktuatif (Zaennudin, dkk, 2010).

5.5.3. Pertumbuhan Bualan Gas dan Semburan Gas
Sejak semburan LUSI terjadi pada 29 Mei 2009 sampai Juni 2010 banyak bualan dan semburan gas yang terjadi di sekitarnya . Pemunculan bualan gas pada akhir Desember 2006 terdapat sebanyak 9 titik. Sejak saat itu sampai bulan Juni 2010 aktivitas bualan dan semburan gas yang terjadi fluktuatif, yang kadang – kadang aktif kemudian pada waktu lainnya padam, dan dapat aktif kembali. Di samping itu memang ada titik bualan baru atau semburan baru yang terbentuk. Februari 2007 BPLS mencatat adanya bualan gas sebanyak 94 titik, tetapi tidak semua titik aktif terus menerus dan yang tercatat aktif hanya 45 titik.
Pada beberapa lokasi titik bualan atau semburan gas disertai oleh air dan lumpur. Gas yang membentuk bualan dan semburan tersebut didominasi oleh gas metana. BPLS telah mencatat kemunculan bualan gas selama tahun 2008 sebanyak 98 titik dan yang aktif hanya sekitar 48 titik lokasi bualan dan semburan gas. Pada tahun 2009 terjadi peningkatan pemunculan bualan gas di luar area terdampak menjadi 123 titik dan yang aktif sebanyak 50 titik. Pada bulan Maret 2010 tampaknya terjadi penurunan aktivitas bualan dan semburan gas tercatat sebanyak 94 dan yang aktif sebanyak 45 titik. Jadi dapat disimpulkan bahwa selama ini sejak pertama kemunculan bualan atau semburan gas terjadi sampai saat ini yang aktif berkisar 45 sampai dengan 50 titik, yang selebihnya hanya berlangsung beberapa hari saja atau bahkan beberapa jam kemudian padam.
Tembusan gas yang terjadi di daerah Siring bagian barat, Mindi, Jatirejo, Pamotan, dan Ketapang merupakan daerah yang paling banyak terjadi tembusan dan semburan gas sehingga kejadian tersebut dirasakan oleh penduduk setempat sangat mengganggu. Namun disamping itu ada keuntungan lainnya, karena pada beberapa lokasi dipasangi separator sebagai pengatur tembusan gas sehingga dapat digunakan untuk memasak seolah – olah mendapatkan gas elpiji gratis. Tetapi apabila ditinjau dari segi dampaknya terhadap kesehatan tentunya mereka mendapatkan dampak negatif jauh lebih besar dari keuntungannya. Hasil penelitian ITS (2010) menunjukkan bahwa bila menghisap gas metana secara menerus dalam kurun waktu yang lama dapat beresiko terkena kangker darah.
Semburan gas tersebar di sisi barat, barat laut, tenggara, dan selatan dengan jarak antara 700 m sampai dengan 1.500 m dari pusat semburan. Sisi barat merupakan sisi yang paling banyak terdapat semburan gas, terutama di Desa Siring bagian barat dan Pamotan. Semburan – semburan gas tersebut keluar secara tidak kontinyu dan di beberapa tempat terjadi pergeseran titik semburan. Di sisi selatan, semburan gas banyak ditemukan di Desa Mindi dan Perjarakan.
Semburan gas yang muncul di tengah – tengah pemukiman penduduk dan industri memberikan dampak terhadap lingkungan masyarakat yang tinggal di area tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gas yang teremisikan dari tanah merupakan gas alam yang bersifat termogenik dengan tingkat kematangan yang cukup tinggi. Adapun komponen  utamanya adalah gas metana (CH4) dan diikuti gas karbondioksida (CO2). Konsentrasi gas metana berlawanan dengan besarnya konsentrasi CO2, pada bualan gas yang mempunyai konsentrasi CH4, tinggi maka konsentrasi CO2 rendah begitu sebaliknya. Konsentrasi gas metana (CH4) dalam gas/bualan gas yang muncul di luar tanggul semburan lumpur Sidoarjo berkisar dari 19 % mol sampai 92 % mol.


Gambar 5.22. Area semburan gas hidrokarbon yang mudah terbakar di sekitar semburan LUSI (Zaennudin, dkk, 2010).

Gas metana merupakan sumber energi yang sangat ramah lingkungan dengan nilai kalori yang sangat tinggi apabila digunakan sebagai bahan bakar (891 kJ). Namun demikian apabila gas ini terlepas ke atmosfir akan bersifat polutan, karena gas metana merupakan gas efek rumah kaca yang dapat menciptakan pemanasan global. Beberapa dekade terakhir penelitian tentang emisi gas metana mulai dilakukan Dr. Orjan Gustaasson dari Universitas Stockholm Swedia, 2007, melakukan penelitian gas metana pada garis pantai Siberia dan pada saat di atas kapal telah berhasil mendokumentasikan yang pertama kalinya sebuah area dimana pelepasan gas metana begitu cepat sehingga metananya tidak sempat larut dalam air laut tetapi muncul sebagai gelembung – gelembung metana ke permukaan laut. Metana yang terlepas ke lapisan ke lapisan atmosfir 72 kali lebih mematikan dibandingkan CO2 selama lebih dari periode 20 tahun dan dapat menyebabkan percepatan pemanasan global yang sangat sulit dikontrol.
Gas alam dapat berbahaya karena sifatnya yang sangat mudah terbakar dan menimbulkan ledakan serta lebih ringan dari udara, sehingga cenderung mudah terbakar di atmosfir. Apabila berada dalam ruang tertutup, seperti dalam rumah, konsentrasi gas metana dapat mencapai titik campuran yang mudah meledak, yang jika tersulut api, dapat menyebabkan ledakan yang dapat menghancurkan bangunan. Kandungan metana yang berbahaya di udara adalah antara 5% hingga 15%. Selain itu gas metana dapat menyebabkan sulitnya bernafas karena kekurangan oksigen.
Dibandingkan dengan gas metana, emisi gas karbondioksida CO2 ke atmosfir jauh lebih banyak diteliti, demikian juga efek dari gas tersebut. Karbondioksida atau zat asam arang adalah senyawa kimia dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon. Molekul karbondioksida (O=C=O) mengandung dua ikatan rangkap yang berbentuk linear. Gas ini merupakan gas yang tidak berbau dan tidak berwarna dengan densitas lebih berat dari udara. Pada keadaan STP, densitas karbondioksida berkisar sekitar 1,98 kg/m3, kira – kira 1,5 kali lebih berat dari udara.

Gambar 5.23. Grafik korelasi konsentrasi gas CH4 dengan CO2 dalam bualan gas di luar tanggul semburan LUSI (2007 – 2010) (Zaennudin, dkk, 2010).
 
 Karbondiosida larut dalam air dan secara spontan membentuk H2CO3 (asam karbonat) dalam kesetimbangan dengan CO2, H2CO3, dan HCO3- (bikarbonat) dan CO32- (karbonat) bergantung pada kondisi pH larutan. Dalam air yang bersifat netral atau sedikit basa (pH > 6,5), bentuk bikarbonat mendominasi (>50%). Dalam air yang bersifat basa kuat (pH > 10,4), bentuk karbonat mendominasi. Bentuk karbonat dan bikarbonat memiliki kelarutan yang sangat baik.
Kandungan karbondiosida di udara bervariasi antara 0,03% (300 ppm) sampai dengan 0,06% (600 ppm) bergantung pada lokasi dan waktu. Karbondioksida adalah gas rumah kaca yang penting karena ia menyerap gelombang inframerah dengan kuat. Nilai ambang batas CO2 di udara berdasarkan SNI 19-0232-2005 sebesar 5.000 ppm.
Pada konsentrasi tinggi gas CO2 ini bersifat racun. Pada konsentrasi 3% volume di udara, ia bersifat narkotik ringan dan menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, dan menyebebkan penurunan daya dengar. Pada konsentrasi 5% mempercepat ritme pernafasan karena adanya stimulasi pusat pernafasan, dan apabila terhirup berulang – ulang menyebabkan pusing – pusing, kebingungan, dan kesulitan pernafasan yang diikuti sakit kepala dan sesak nafas. Konsentrasi antara  8% dan 15% menimbulkan pening kepala, dan kemungkinan menyebabkan kematian jika korban tidak cepat mendapatkan oksigen. Konsentrasi yang lebih tinggi dengan cepat masuk ke peredaran darah dan dalam waktu singkat menyebabkan koma dan meninggal (Williams dan Rymer, 2000).
Berdasarkan pada sifat – sifat fisika dan kimia, maka dua gas (CH4 dan CO2) yang teremisikan di area sekitar semburan lumpur Sidoarjo diteliti dan dilakukan analisis dampaknya terhadap lingkungan. Analisis terhadap gas CH4 dan CO2 yang telah dilakukan secara kontinyu pada titik yang tetap di titik MND (Buble Mindi), menunjukkan nilai yang relatif tinggi. Berdasarkan pengamatan tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi CH4 bersifat fluktuatif, sedangkan gas CO2 menunjukkan kecenderungan meningkat.  Demikian juga pada pengamatan di selokan sebelah barat pabrik kerupuk di Siring bagian barat. Hal ini perlu menjadi perhatian mengingat sifat gas CO2 yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan, bahkan menyebabkan kematian pada konsentrasi di atas 11% vol pada sekali hirup. Apabila dilihat dari nilai ambang batas gas CO2 di udara (5.000 ppm = 0,5% vol) maka gas ini jauh melebihi ambang batas, akan tetapi karena keluarnya gas di udara maka gas segera terdispersi dan tercecerkan oleh udara, sehingga gas CO2 di udara sudah berkurang konsentrasinya.
Gas – gas tersebut teremisikan secara tidak kontinyu. Mulai pertengahan bulan Februari 2009 tekanan gas yang tersemburkan melalui rekahan – rekahan dan sumur bor penduduk mulai mengalami penurunan intensitas, bahkan di beberapa titik sudah tidak lagi menyemburkan gas. Namun demikian kewaspadaan perlu dilakukan karena dengan berkurangnya tekanan/intensitas gas, maka terdispersinya gas CO2 ke udara juga berkurang, terutama apabila tidak ada sinar matahari. Sehingga, sifat gas CO2 yang lebih berat dari udara ini (densitas relatif terhadap udara  = 1,52 g/I), pada kondisi tidak adanya sinar matahari kemungkinan gas akan terakumulasi di permukaan tanah dan membahayakan. Dengan berkurangnya intensitas emisi gas pada beberapa sumber terutama pada musim hujan ada kemungkinan karena gas tersebut terlarut dalam air, mengingat sifat gas CO2 yang mudah larut dalam air.
Semburan gas yang terdapat di Siring bagian barat keluar bersama dengan semburan air melalui sumur – sumur bor penduduk dan pabrik – pabrik serta retakan – retakan tanah. Sumur bor yang mengeluarkan semburan gas dan air rata – rata mempunyai kedalaman lebih dari 70 m. Semburan air bercampur gas bisa mencapai ketinggian 15 m lebih. Bahkan semburan air dan gas yang terjadi di kompleks pabrik baja Desa Siring mampu menjebol pompa air yang dipasang di atasnya. Di lokasi tersebut selain semburan air dan gas juga diikuti luapan lumpur. Gas yang muncul dari semburan didominasi oleh CH4 (metana).
Selain dampak negatif akibat dari semburan gas yang keluar di tengah – tengah padatnya penduduk terdapat pula manfaat yang diperoleh. Sejak akhir tahun 2008 gas tersebut telah dimanfaatkan oleh penduduk menjadi bahan bakar gas untuk kebutuhan kompor rumah tangga. Gas disalurkan melalui pipa dari tempat teremisinya yang dilengkapi dengan valve pengontrol tekanan dan aliran gas. Sampai saat ini ada ± 18 rumah penduduk yang telah mendapatkan pelayanan pasokan gas secara gratis. Yang perlu mendapat perhatian ketat adalah antisipasi terhadap bahaya kebakaran yang disebabkan oleh hembusan gas liar akibat kekuranghati -  hatian warga dalam mengelola gas tersebut.

Gambar 5.24. Hasil pengukuran konsentrasi CH4 dengan CO2 dari waktu pada bualan Mindi (kiri) dan Perjarakan (kanan) Sidoarjo (Zaennudin, dkk, 2010).

Pengamatan semburan gas yang ada di Siring bagian barat pada bulan Maret 2009 menunjukkan peningkatan semburan dibandingkan dengan pengamatan sebelumnya yang dilakukan pada tanggal 22 – 23 Februari 2009. Semburan yang mencolok terjadi di pabrik kerupuk PT. Candi Jaya Amerta. Semburan terjadi dalam pabrik pada tanggal 20 Maret 2009 yang mengakibatkan produksi berhenti sementara. Bau gas di dalam pabrik sangat menyengat dan konsentrasi gas metana melebihi nilai LEL (lebih dari 100% LEL). Tetapi di lokasi yang sama sebelumnya terdapat bualan gas bercampur air yang cukup besar, pada saat peninjauan bualan gas tersebut telah padam. Jadi kemungkinan titik tembusannya berpindah pada titik yang baru ini.
Hasil pengamatan semburan gas yang lain yang ada di wilayah Siring bagian barat di sumur bor penduduk di jalan Flamboyan juga menunjukkan adanya peningkatan semburan dibandingkan dengan pengamatan sebelumnya (22 – 23 Februari 2009). Bualan gas bercampur air tersebut memperlihatkan air yang keluar dari sumur bor tersebut menjadi lebih keruh dan bau yang lebih menyengat.


Gambar 5.25. Air keluar dari semburan gas yang terjadi pada salah satu sumur bor penduduk Siring bagian barat, menggenangi jalan desa. Semburan gas yang diikuti air sering terjadi di wilayah ini, tetapi tidak menerus disertai air. Air hanya terjadi pada awal kejadian sampai kurun waktu satu bulan, kemudian menurun debitnya dan akhirnya padam. Karena muka air tanah di wilayah ini sudah hampir sama dengan permukaan tanah, sehingga air tersebut akan tergenang dan untuk mengurangi genangan air tersebut disedot dengan pompa untuk dialirkan ke selokan yang masih berfungsi atau kadangkala dimasukan ke dalam kolam penampungan lumpur (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.26. Dampak tingginya kandungan gas CO2 yang berasal dari semburan gas mengakibatkan layunya tanaman yang tumbuh. Pada lokasi yang berdekatan dengan titik semburan, konsentrasi gas CO2 cukup tinggi, tetapi emisi gas ini terjadi secara tidak menerus (Zaennudin, dkk, 2010).

Dampak yang terlihat dari teremisikannya gas di dalam sumur penduduk adalah bau yang menyengat dan keruhnya air, sehingga air sumur tidak dapat digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari. Selain itu yang perlu diwaspadai  adalah berhembusnya gas dari retakan tanah/lantai di dalam rumah penduduk. Bahaya yang mungkin dapat terjadi adalah terbakarnya rumah serta dapat mempengaruhi kesehatan penduduk akibat menghirup gas – gas yang teremisikan tersebut. Mengingat rumah merupakan ruang tertutup, terutama pada malam hari, saat pintu – pintu dan jendela mereka sudah tertutup. Sirkulasi udara sudah minim atau bahkan tidak ada.
Siring bagian barat adalah yang paling dekat dengan tanggul Siring. Wilayah ini terlihat sangat buruk kondisinya akibat dampak dari semburan lumpur Sidoarjo. Bangunan rumah, sekolah, pabrik, dan fasilitas lainnya telah mengalami retakan – retakan dan sebagian sudah miring, jalan desa mengalami penurunan yang cukup nyata terlihat. Pada beberapa lokasi terjadi semburan gas bercampur lumpur dan air, atau tembusan gas yang mudah terbakar. Di udara bebas di wilayah ini tercium gas yang berbau seperti cairan hidrokarbon sangat kuat yang tentunya dalam kurun waktu tertentu bila menghirup gas tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada kesehatan penduduk setempat.

Gambar 5.27. Lumpur bercampur gas yang keluar dari sumur pompa penduduk dengan bau cairan hidrokarbon yang menyengat, sehingga air sumur tidak dapat digunakan lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari (Zaennudin, dkk, 2010).

5.6. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SIDOARJO
Kawasan Lindung dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2003 – 2013 sebelum revisi hanya terdiri atas: sempadan sungai dan sempadan pantai, sedangkan Kecamatan Porong dan sekitarnya merupakan kawasan budi daya yang terdiri atas industri, pemukiman, dan pertanian. Dalam RTRW tersebut kawasan budi daya meliputi pula wilayah penambangan yang diperuntukkan bagi kegiatan penambangan bahan galian golongan C, yaitu bahan galian industri dan konstruksi. Sedangkan untuk kegiatan di bidang minyak dan gas bumi kurang ada penjelasan yang rinci, hanya digambarkan dalam bentuk indikasi berupa bentuk simbol titik dan bukan dalam bentuk area. Selain kegiatan penambangan, juga dialokasikan bagi kegiatan industri, pemukiman, pertanian, serta perdagangan dan jasa. Sehingga wilayah di sekitar lokasi kegiatan penambangan yang berlokasi di sekitar Porong, Sidoarjo adalah daerah terbangun (urbanized) yang telah ada jauh sebelum kegiatan penambangan (pemboran) migas dilaksanakan. 

Gambar 5.28. Kebakaran yang diakibatkan oleh akumulasi gas metana dari semburan gas yang terkena percikan api di rumah penduduk Jalan Beringin No. 5, Siring, Porong. Semburan gas yang terjadi di lokasi akhirnya menenggelamkan sebuah “gazebo” dan meruntuhkan beberapa bagian bangunan (Zaennudin, dkk, 2010).

Sehubungan dengan adanya fenomena geologi semburan lumpur di daerah Porong, Sidoarjo, maka Keputusan Menteri ESDM No. 1457 K/28/MEM/2000 tersebut menjadi kurang efektif bila diterapkan untuk daerah terbangun seperti di wilayah Porong, Sidoarjo. Pada kenyataannya saat ini dampak semburan lumpur telah menggenangi area seluas lebih kurang 840 ha, yang berarti telah melebihi jarak 100 m yang merupakan jarak aman dari kegiatan pemboran migas.
 
Gambar 5.29. Dampak positif semburan gas yang muncul di tengah – tengah pemukiman penduduk. Terlihat seorang penduduk Desa Siring bagian barat sedang mengecek aliran gas untuk menyalakan kompor di rumahnya yang dapat digunakan untuk memasak (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.30. Bualan – bualan gas baru yang muncul di dalam pabrik kerupuk PT. Candi Jaya Amerta di Desa Siring (Zaennudin, dkk, 2010).

Konflik kepentingan dan masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan di sektor migas dapat diminimalkan apabila sejak awal RTRW telah mengakomodasikan kepentingan sektor migas. Hal tersebut dapat terealisasi apabila seluruh informasi yang berkaitan dengan potensi sumber energi (migas) beserta kendala/dampak akibat kegiatan eksplorasi dan eksploitasinya turut dianalisis pada saat penyusunan tata ruang wilayah baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, paling tidak di tingkat lokal, yaitu wilayah kabupaten/kota, alih fungsi lahan sangat tampak  dan dapat berlangsung sangat cepat. Oleh karena itu, kegiatan sektor migas dan penambangan digambarkan dalam bentuk wilayah bukan hanya titik dalam peta. Hal ini juga dibuat berdasarkan pada batas ekologi yang merupakan batas area yang akan terkena dampak dari kegiatan penambangan maupun migas yang dimaksud.
Revisi RTRW Kabupaten Sidoarjo yang didukung oleh informasi geologi lingkungan telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Daerah No. 6 Tahun 2009. RTRW tersebut mengacu pula pada Undang – undang No. 26 tahun 2007 tentang RTRW Nasional dan PP No. 26 tahun 2008, pasal 51 tentang Kawasan Lindung Geologi dan Kawasan Rawan Bencana.

Gambar 5.31. Air dari dalam kolam penampungan LUSI yang merembes keluar tanggul pengendali yang kurang kompak akibat deformasi menyebabkan Jalan Raya Porong – Sidoarjo terendam air setinggi 50 cm. Antrian kendaraan roda dua dan roda empat tidak dapat terhindarkan lagi bila sudah terjadi seperti ini. Untuk mencegahnya, maka pada akhir Juni 2010 jalan raya tersebut telah ditinggikan sekitar 1 m sebagai usaha sementara sebelum selesai pembangunan jalan alternatif (Zaennudin, dkk, 2010).

Peraturan Daerah tersebut, khusus Kawasan Porong dan sekitarnya telah ditetapkan RTRW nya baik untuk Kawasan Budidaya maupun Kawasan Lindung. Kawasan budidaya terbagi menjadi: industri non–kawasan, pemukiman, pertanian, pertambakan, perdagangan, dan jasa. Sedangkan rencana Kawasan Lindung terdiri atas kawasan sempadan sungai, kawasan sepadan pantai, kawasan pantai berhutan bakau, dan Kawasan Lindung Geologi merupakan wilayah terdampak oleh semburan LUSI. Usulan fungsi kawasan di wilayah Porong dan sekitarnya ini mengacu pada data dan informasi, baik berdasarkan faktor pendukung maupun hasil evaluasi ancaman bahaya terkini serta kemungkinan yang akan timbul pada waktu mendatang.

5.7. PENATAAN RUANG BERBASIS GEOLOGI TATA LINGKUNGAN
Penataan ruang berbasis geologi tata lingkungan ini mencoba untuk mengaplikasikan informasi geologi yang secara konseptual berperan sebagai media dalam penerapan penataan ruang dan pengelolaan lingkungan di Kabupaten Sidoarjo. Berdasarkan informasi tersebut, kemudian direkomendasikan dalam penggunaan lahan, baik untuk kawasan lindung maupun kawasan budidaya. Rekomendasi dalam penggunaan lahan suatu kawasan yang mengalami bencana geologi dan menimbulkan dampak lingkungan itu sangat penting seperti yang terjadi di sekitar Porong, Sidoarjo dengan adanya fenomena semburan LUSI.
Berdasarkan studi Geologi Tata Lingkungan Regional Kabupaten Sidoarjo (Badri dkk., 2007) dan Geologi Lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Porong Hilir, Kabupaten Sidoarjo (Badri, 2008), maka zonasi geologi lingkungan daerah Sidoarjo dibagi menjadi empat zona keleluasaan, yaitu zona leluasa dengan sektor 72 – 96, zona kurang leluasa skor 48 – 72, zona tidak leluasa skor 24 – 48, dan zona tidak layak yang mempunyai skor < 24.
A.       Zona Leluasa : zona yang dapat dikembangkan dengan faktor pendukung tinggi, kendala rendah dan resiko biaya rendah. Zona ini merupakan daerah dataran – landai dengan kemiringan lereng 5 – 10%, daya dukung fondasi bangunan sedang, air tanah dengan akuifer produktif. Direkomendasikan sebagai pengembangan kawasan pemukiman (perkantoran dan pedesaan), kawasan komersial, dan kawasan industri. Zona ini dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu :
-            Zona Cukup Leluasa: zona yang dapat dikembangkan dengan faktor pendukung agak tinggi kendala agak rendah, dengan resiko biaya agak rendah. Zona ini merupakan daerah dataran aluvial dengan kemiringan lereng antara 0 – 5%, direkomendasikan sebagai kawasan pemukiman pedesaan, kawasan industri terutama bukan jenis industri yang polutif, dan kawasan perikanan / pertambakan.
-            Zona Agak Leluasa: merupakan suatu daerah yang mempunyai kondisi fisik lahan dengan faktor pembatas menengah atau kendala geologi lingkungan kelas menengah dengan resiko biaya pembangunan dan teknologi yang sedang atau menengah. Zona ini merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng antara 5 – 10%, direkomendasikan sebagai kawasan pemukiman pedesaan, pertanian, dan perkebunan.
B.       Zona Kurang Leluasa: zona dapat dikembangkan dengan faktor pendukung sedang dan kendala sedang serta resiko biaya sedang, perlu masukan rekayasa teknologi. Zona ini merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng 0 – 5%, daya dukung fondasi bangunan rendah, air tanah dengan akuifer setempat produktif, direkomendasikan sebagai pengembangan kawasan pemukiman pedesaan, dan pertanian.
C.       Zona Tidak Leluasa: zona dapat dikembangkan dengan faktor pendukung rendah dan kendala tinggi serta resiko biaya tinggi, perlu rekayasa teknologi lebih tinggi. Zona ini merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng 0 – 5%, daya dukung fondasi bangunan rendah, air tanah dengan akuifer setempat produktif, direkomendasikan sebagai kawasan ruang terbuka hijau, kawasan pemukiman, kawasan industri terbatas terutama bukan jenis industri yang polutif, kawasan perikanan/pertambakan, kawasan pertambangan, dan kawasan penyangga (buffer zone).
D.       Zona Tidak Layak: zona tidak dapat dikembangkan karena merupakan daerah berbahaya geologi tinggi yang dapat mengancam keselamatan manusia, infrastruktur atau karena suatu zona telah diatur oleh peraturan pemerintah/undang – undang seperti kawasan lindung. Daerah yang terlanda material hasil semburan lumpur panas dan yang menimbulkan dampak penting, pemunculan bualan disertai gas berbahaya dan mudah terbakar, terjadi amblasan tanah (land subsidence) pada jalur bidang lemah akibat adanya deformasi struktur geologi bawah permukaan, serta terjadi retakan/belahan tanah disekitar semburan utama. Disamping itu terdapat keunikan proses geologi yang terjadi dan menjadi perhatian masyarakat. Zona ini direkomendasikan menjadi kawasan lindung geologi (cagar alam geologi), dan dapat menjadi kawasan yang berfungsi lainnya apabila terdapat potensi sumber daya geologi yang ekonomis dan tidak mengganggu fungsi lindung.

Gambar 5.32. Peta Geologi Tata Lingkungan Daerah Aliran Sungai (DAS) Porong Hilir Kabupaten Sidoarjo (Badri dkk., 2008). LUSI terletak pada zona C (tidak leluasa) dan zona D (tidak layak) (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.33. Peta RTRW yang disusun oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2009 (Zaennudin, dkk, 2010).

5.8. EVALUASI ANCAMAN BAHAYA GEOLOGI
Evaluasi ancaman bahaya yang mungkin timbul menjadi dasar dalam perencanaan tata ruang agar dapat diketahui sejauh mana ancaman yang potensial dapat mengganggu penggunaan lahan di Kawasan Porong. Aspek yang berpengaruh pada Tata Ruang Wilayah Porong adalah luapan semburan LUSI, penurunan dan pengangkatan permukaan, serta semburan dan bualan gas.
Hasil catatan yang terkumpul menunjukkan debit aliran lumpur awalnya kecil pada 29 Mei 2006, yakni sekitar 4.450 m3 per hari, suhu sekitar 100oC, dengan komposisi lumpur berbanding cairan 30% : 70 %, ketinggian kick sekitar 65 m di atas muka tanah setempat. Debit aliran ini makin membesar 100.000 m3 per  hari dan bersuhu sekitar 96oC, di tahun 2007. Pada Februari 2008 menurun menjadi 70.000 m3 per hari dengan suhu 94,6oC. Tetapi pada Juni 2008 hingga Juni 2009 debit semburan meningkat menjadi 120.000 m3 per hari. Pada Desember 2009 debitnya mengalami penurunan menjadi 100.000 m3 per hari dengan suhu sekitar 95,7oC, ketinggian kick sekitar 20 m. Pengukuran dilakukan kembali pada bulan Maret 2010 yang menunjukkan debit yang semakin menurun, yakni sebesar 20.000 m3 per hari dengan ketinggian kick sekitar 10 m di atas muka tanah setempat. Pada bulan Mei 2010 debit lumpur menjadi 10.000 m3 per hari dengan komposisi material semburan berupa air 70% dan lumpur 30%. Kenampakan secara visual pada permukaan endapan lumpur di kolam penampungan mulai mengering sekitar 75%, dan membentuk tinggian topografi secara radial. Dari data dan informasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tekanan yang memicu keluarnya semburan lumpur tersebut mulai melemah dan sumber air dalam formasi batuan berkurang.
Indikasi adanya penurunan muka tanah pada awalnya diketahui dari adanya perubahan konstruksi pada jembatan jalan tol yang melintasi Jalan Raya Porong – Sidoarjo, ditemukan adanya retakan pada tanah dan badan jalan, bangunan pabrik dan bangunan pemukiman. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi pergerakan tanah sehingga terbentuk retakan – retakan yang menjadi jalan bagi munculnya beberapa bualan di sekitarnya. Di samping itu gejala penurunan tanah, berdasarkan interpretasi INSAR (Deguchi, et al., 2007). Terdapat pula gejala pengangkatan (uplift) tanah. Gejala pengangkatan itu telah teridentifikasi dari hasil kajian yang dilakukan Badan Geologi.
Hasil penelitian Badan Geologi hingga 2010 di beberapa tempat yang mengalami penurunan seperti yang terjadi di daerah Siring bagian barat, Ketapang dan pusat semburan, gejala amblasan diketahui dari hasil pengukuran GPS dan pengamatan visual baik terhadap adanya retakan dan rekahan terhadap bangunan dan infrastruktur. Penurunan terjadi pada wilayah sejauh 1,7 km dari pusat semburan dan penurunan di sekitar pusat semburan merupakan daerah yang paling parah dengan penurunan yang terjadi sejauh kurang lebih 14 m. Sedangkan pengangkatan antara 1 – 12 cm, teridentifikasi berada di bagian barat daya pusat semburan atau mendekati Kali Porong. Proses penurunan dan pengangkatan tanah ini diduga disebabkan oleh gabungan antara adanya penggosongan material di bawah LUSI, struktur geologi yang berada di wilayah ini, pembebanan akibat adanya endapan lumpur dan penambahan bendungan pengendali lumpur yang terus diusahakan untuk dipertinggi. Telah terdapat tanda – tanda mulai stabilnya penurunan tanah pada daerah Siring bagian barat dan Ketapang pada pemantauan akhir tahun 2009 hingga Maret 2010.
Hasil pemantauan terhadap perkembangan pemunculan bualan menunjukkan angka yang bersifat fluktuatif. Kondisi setiap bualan itu ada yang bersifat aktif, ada yang melemah maupun yang mulai padam. Pemunculan bualan gas di luar tanggul terjadi pada Desember 2006 kemudian meningkat tahun 2007 sampai 2009 dan menurun lagi pada bulan Mei tahun 2010. Hasil pemantauan aktivitas LUSI dari awal 2007 sampai dengan Mei 2010 menunjukkan kecenderungan penurunan pertumbuhan bualan dan penurunan debit lumpur.

Gambar 5.34. Endapan LUSI di sebelah selatan yang hanya berjarak sekitar 400 m dari pusat semburan sudah mengering dan dapat diinjak. Walaupun bagian yang kering ini hanya setebal 10 cm dan pecah – pecah akibat panas matahari. Untuk menginjaknya perlu hati – hati, karena dapat amblas ke dasar kolam sedalam 9 m (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.35. Lumpur kering yang terdapat di sebelah selatan pusat semburan hanya 10 cm. Bagian bawah dari endapan lumpur tersebut masih basah dan sangat lunak, sehingga ketika kita berjalan di atas endapan lumpur terasa sangat empuk untuk diinjak (membal–membal) (Zaennudin, dkk, 2010).

Penggunaan lahan di kawasan Porong terdiri dari pemukiman, industri, pertanian, dan infrastruktur (jalan kereta api, jalan raya arteri). Beberapa kawasan pemukiman telah terlanda genangan lumpur dan mengalami amblasan. Kawasan pemukiman dan industri yang terlanda lumpur saat ini telah berubah menjadi kolam penampungan lumpur. Kawasan industri yang tersisa dan infrastruktur telah terganggu dan mengalami retakan dan amblasan, sedangkan kawasan pemukiman setempat telah terganggu oleh tembusan yang disertai gas berbahaya. Kawasan yang relatif aman adalah kawasan pertanian yang berjarak antara 2 – 3 km dari pusat semburan.
Berdasarkan data dan informasi perkembangan yang terjadi di Kawasan Porong hingga akhir Juni 2010, maka dampak yang terjadi akibat semburan LUSI dapat digolongkan ke dalam beberapa zona, yaitu: zona primer, zona sekunder, zona tersier, zona pemunculan dominan gas dan sedikit air, zona tanpa lumpur dan bualan gas, serta zona air tanah dangkal tercemar rembesan air lumpur.

Gambar 5.36. Peta amblasan dan tembusan gas semburan LUSI Agustus 2010 (Zaennudin, dkk, 2010).

Gambar 5.37. Grafik fluktuasi semburan LUSI dan pertumbuhan bualan gas dari 2006 – 2010. Dari kedua data menunjukkan kecenderungan menurun. Hal ini mencerminkan bahwa aktivitasnya sudah melewati puncaknya sehingga pada waktu mendatang tidak terjadi lagi luapan lumpur yang pernah terjadi dalam tahun 2007 – 2009, dan kemungkinan hanya berupa semburan gas tanpa diikuti oleh lumpur maupun air (Zaennudin, dkk, 2010).

5.9. REKOMENDASI PENGGUNAAN LAHAN
Rekomendasi penggunaan lahan untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Porong ditentukan berdasarkan analisis kondisi faktor pendukung dan faktor ancaman yang mungkin timbul selama 5 tahun ke depan. Kedua faktor tersebut menjadi dasar penarikan zona rekomendasi untuk rencana tata ruang wilayah di kawasan tersebut.
Hasil analisis dari faktor pendukung dan kendala dapat ditarik batas zona yang perlu dipertimbangkan untuk pemanfaatan ruang berdasarkan aspek geologi tata lingkungan. Adapun beberapa zona yang direkomendasikan untuk pemanfaatan ruang, yaitu zona untuk wisata minat khusus, zona campuran industri dan pemukiman sangat terbatas (terpengaruh amblasan), zona pertanian dan pemukiman pedesaan.
 
5.10. SINTESIS FENOMENA “LUSI”
LUSI terletak pada zona sesar Watukosek yang berarah timur laut – barat daya. Sebelumnya dalam masa sejarah, zona ini tidak pernah tercatat adanya ekstrusi lumpur yang terjadi di dataran aluvial Delta Brantas. Keberadaan sesar ini diindikasikan oleh adanya rembesan minyak bumi di Desa Carat, gawir sesar yang sangat tegas di Watukosek yang memotong kompleks batuan vuklanik Penanggungan berumur Kuarter Tua. Sesar ini menerus ke arah timur laut menyeberangi Selat Madura dan memotong Pulau Madura bagian barat. Di sekitar Sidoarjo sesar ini terdapat pada morfologi dataran dan tidak nampak di permukaan karena tertutup oleh Formasi Notopuro dan endapan aluvial Delta Brantas yang lebih muda.
Pemunculan lumpur dan hidrokarbon secara alamiah akan terjadi bila ada zona lemah sebagai jalan keluarnya. Wilayah Sidoarjo zona lemah dari sesar inilah dapat dijadikan sebagai media tersebut. Indikasi ini terlihat dari beberapa lokasi sepanjang zona tersebut telah bermunculan erupsi lumpur yang ada kaitannya dengan kemunculan hidrokarbon, seperti gunung – gunung lumpur Pulungan, Gunung Anyar, dan Kalang Anyar di sekitar Bandara Juanda, Waru, Sidoarjo, serta gunung lumpur Bujel Tasek Laki, Bujel Tasek Bini, Geger, Bangkalan. Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi pemicu lumpur tersebut teraktifasi bergerak ke permukaan dari sumbernya. Bila penyebabnya adalah seismik yang kaitan dengan proses subduksi dari lempeng India – Australia terhadap lempeng Euro – Asia kemungkinannya kecil, karena keberadaan zona seismik di kawasan ini relatif dalam. Salah satu cara lumpur tersebut dapat bergerak ke permukaan adalah karena aktivitas tektonik atau aktivasi sesar dan gempa bumi yang cukup besar. Lempung atau lumpur membutuhkan jalan keluar berupa zona lemah atau retakan. Mungkinkah sebaliknya batulempung yang tertekan dalam bentuk mud diaper kemudian mengaktivasi sesar sehingga membuka jalan untuk menembus endapan Notopuro di atasnya. Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut masih belum memuaskan dan masih terus menjadi perdebatan para ahli kebumian.

Gambar 5.38. Fragmen yang cukup besar berukuran krakal mengendap di bagian bawah endapan sehingga menghalangi aliran lumpur ke Kali Porong. Dengan alat berat ekskavator dan “crab” mengambil endapan krakal dan kerikil pada dasar kolam (Zaennudin, dkk, 2010).

Zona Kendeng di Jawa bagian timur banyak dijumpai adanya gunung lumpur baik yang masih aktif maupun yang sudah padam padam, seperti Bledug Kawu, Sangiran, Wringin Anom, Pulungan, Gunung Anyar, Kalang Anyar, dan beberapa gunung lumpur di sekitar Mojokerto – Jombang. Oleh karena itu, zona di sekitar Sidoarjo mempunyai potensi besar terjadi ekstrusi lumpur. Apalagi di wilayah ini terdapat zona lemah dari sesar Watukosek sebagai salah satu media jalan keluarnya lumpur. Tetapi sesar tersebut telah tertutupi oleh Formasi Notopuro dan aluvial Delta Brantas yang cukup tebal (>100 m). Munculnya lumpur ke permukaan harus memotong dan melewati formasi dan endapan tersebut, dan akan sangat sulit apabila tidak ada yang memicunya.
Namun apabila LUSI dihubungkan dengan aktivitas seismik, sangat tidak mungkin karena tidak terjadi gempa bumi pada hari atau beberapa hari sebelum ekstrusi awal terjadi, kecuali gempa bumi Yogyakarta pada tanggal 26 Mei 2006. Namun getaran gempa bumi tersebut terlalu kecil untuk men-triger lumpur sampai dapat muncul ke permukaan. Gempa Yogyakarta terekam sangat kecil di Pos Pengamatan Gunungapi Arjuno – Welirang, pos pengamatan gunung api ini hanya berjarak sekitar 15 km dari LUSI. Apabila gempa bumi tersebut sampai dapat mengaktifkan sesar maka setidaknya kawasan yang terlewati sesar tersebut juga terkena pengaruhnya dan akan mengalami kerusakan yang cukup besar. Oleh karena itu, sangat tidak relevan menghubungkan kejadian LUSI dengan gempa bumi tersebut. Berhubungan dengan kasus LUSI ini, bahwa gangguan kesetimbangan kondisi bawah permukaan di wilayah ini diperoleh dari kegiatan pemboran. Tempat dimana pressure release dari lumpur terekam dapat disalurkan dengan mudah.
Perkiraan naiknya lumpur ke permukaan disebabkan oleh gas dan air yang melalui saluran utama berupa lubang pemboran. Air berasal dari formasi dimana tidak terdapat casing, mulai kedalaman 1.200 m, sedangkan gas berasal dari reservoir gas yang lebih dalam. Lumpur yang keluar melalui lobang pemboran mengandung fragmen batuan berbagai jenis, air, dan gas. Fragmen lempung yang dijumpai membulat, mengindikasikan bahwa batulempung ini dalam perjalanannya ke permukaaan terjadi adanya proses granulasi fragmen lumpur di saluran atau conduit LUSI. Fragmen batuan lempung berbentuk membulat tersebut dibutuhkan jalan yang panjang di saluran atau conduit.
Gas yang muncul di pusat semburan maupun di luar tanggul LUSI sebagian besar terdiri dari metana dan sebagian karbondioksida. Hasil analisis dari isotop karbon terindikasi terdapat kontribusi dari CO2 yang berasal dari batugamping, atau sebagai hasil karbonisasi batugamping. Tidak jelas dimana gas hidrokarbon ini berada, apakah pada reservoir batupasir atau reservoir batugamping. Namun berdasarkan informasi PT. Lapindo Brantas tidak dijumpai cutting batugamping dari pemboran Banjar panji-1. Kandungan gas metana dari LUSI maupun Wunut yang telah berproduksi tidak mempunyai perbedaan, keduanya bersifat thermogenic. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah gas hidrokarbon keduanya berasal dari batuan sumber yang sama? Begitu juga gas yang muncul di luar waduk melalui retakan berupa tembusan gas, semburan gas, maupun bualan di sumur – sumur penduduk tidak ada perbedaan, semua didominasi oleh thermogenic metana yang mudah terbakar.
Retakan dan emisi gas yang terdapat di sebelah barat tanggul LUSI (Siring barat, Ketapang, Jatirejo, dan Pamotan) dan pada akhir September 2010 mulai terjadi di sebelah timur dan selatan tanggul waduk merupakan fenomena yang berhubungan erat secara genesis dengan pertumbuhan dan dinamika semburan LUSI di dalam tanggul pengendali lumpur. Semua emisi (tembusan) gas yang melewati retakan di wilayah ini adalah gas hidrokarbon yang mudah terbakar yang kadang – kadang kemunculannya disertai oleh semburan air. Tetapi pada umumnya kejadian semburan gas tersebut tidak berlangsung lama yang kemudian padam.
Gas yang muncul di pusat semburan maupun di luar tanggul pengendali lumpur mempunyai sifat yang sama, namun tidak demikian dengan air. Air yang terdapat dalam semburan lumpur di pusat semburan dan air yang tersembur bersamaan dengan semburan gas di sekitar tanggul LUSI sangat berbeda. Air yang keluar melalui semburan utama (pusat semburan) mempunyai kandungan garam sangat kaya dan sangat kentara pada saat endapan lumpur tersebut mengering. Permukaannya akan berwarna putih karena garam tersebut. Ini menunjukkan bahwa air di pusat semburan berasal dari air formasi jauh di bawah permukaan. Ditambah lagi dengan kenyataan umur air yang berumur >50.000 tahun, sedangkan air di luar waduk (kolam penampungan) yang rendah garam berasal dari lapisan pasir pada kedalaman hingga 80 m, merupakan bagian dari endapan aluvial Brantas dan juga dari hasil analisis umurnya sangat muda. Ini menunjukkan bahwa air yang menyembur di luar waduk disebabkan oleh proses deformasi yang masih terus berlangsung pada endapan aluvial Brantas sebagai reservoir air dangkal.
Fenomena geologi lainnya adalah air yang keluar melalui saluran utama di pusat semburan memiliki suhu tinggi mencapai titik didih (95o – 100oC). Tidak lazim suhu tersebut terdapat pada cekungan sedimen. Hasil isotop deuterium dan oksigen dari air yang keluar bersama semburan lumpur di pusat semburan menunjukkan bahwa air dipengaruhi oleh komponen magmatik atau sistem hidrothermal aktif, yang berhubungan dengan suatu bodi (tubuh) magma yang mendingin. Sedangkan air yang muncul bersama semburan gas di luar waduk adalah air meteorik. Ini membuka kemungkinan bahwa karbonisasi batugamping di bawah permukaan dapat terjadi karena heating gas panas yang dilepaskan dari magma. Karena berdasarkan isotop 13C dari CO2 dalam semburan gas, baik yang berada di luar waduk maupun dari pusat semburan menunjukkan adanya gas CO2 tersebut berasal dari hasil degradasi thermal bahan organik (batugamping).

Gambar 5.39. Model sistem panas bumi dan proses pematangan gas hidrokarbon yang terpengaruh oleh aktivitas batuan beku plutonik. Dengan tertembusnya batugamping sebagai reservoir migas dan air panas, hasil pemanasan dari batuan plutonik di bawahnya, maka gas dan uap air bertekanan tinggi tersebut secara tiba–tiba muncul ke permukaan melewati lubang bor Banjar panji-1 dengan membawa serta air dan serpih yang dilewatinya (Zaennudin, dkk, 2010).

Dari fenomena pemunculan gas dan semburan air dapat disimpulkan bahwa gas keluar melalui retakan yang langsung berhubungan dengan saluran semburan utama. Gas yang keluar di saluran utama (main conduit) melalui retakan keluar ke permukaan dengan atau tanpa semburan air. Tekanan air berasal dari akibat adanya deformasi yang terjadi di sekitar waduk.
Retakan secara genetik berkaitan dengan pusat kegiatan di waduk. Dua penyebabnya, yaitu akibat pembebanan sedimen lumpur, tanggul waduk, dan ditambah lagi dengan penurunan dasar waduk di sekitar pusat semburan utama akibat kekosongan massa di bawah permukaan. Fenomena terakhir ini dibuktikan dengan amblasnya tanggul cincin penahan lumpur di dekat semburan. Apabila melihat retakan di sebelah barat tanggul waduk yang meregang sejalan dengan waktu, maka yang bekerja adalah gaya tarikan ke arah pusat semburan dan gas keluar melalui retakan tersebut. Gaya tarikan ini juga menyebabkan retakan pada rumah – rumah di beberapa tempat, dan gas metana muncul melalui retakan di dalam rumah tersebut, kemudian terakumulasi sehingga sering mengakibatkan kebakaran bila terpecik api. Penurunan terjadi secara perlahan seiring dengan pengurangan massa yang keluar dan penambahan beban di permukaan. Gaya  tarikan ini juga mengakibatkan permukaan tanah turun di wilayah Siring barat yang mengakibatkan terdapat area genangan air baru, karena permukaan tanah sudah berada di bawah muka air tanah setempat.
Amblasan sekonyong – konyong hanya terjadi di dekat pusat semburan. Gaya tarikan akibat deformasi ini juga yang menyebabkan sedimen aluvial tertekan sehingga menyemburkan air yang ada di dalamnya. Namun hal ini tidak bertahan lama karena deformasi tidak selamanya bekerja, tetapi masih dinamis yang mengakibatkan perubahan – perubahan di sekitar waduk. Dinamika deformasi di sekitar waduk ini pula yang menyebabkan gas ada kalanya padam dan aktif di tempat lain atau dapat padam dan mati. Ini sekaligus memperkuat jawaban bahwa retakan tidak berhubungan dengan suatu struktur dalam  yang langsung berhubungan dengan deformasi sedimen tempat hidrokarbon berada. Keterdapatan retakan hanya di sekitar endapan aluvial. Retakan tidak berhubungan dengan sesar.



DAFTAR PUSTAKA


Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), 2007. Data lokasi bubble semburan lumpur Sidoarjo.
Badan Standarisasi Nasional, 2005. SNI 19-0232-2005, Nilai Ambang Batas (NAB) Zat Kimia di Udara Tempat Kerja.
Badri, I., 2007. Peta Geologi Lingkungan Daerah Aliran Sungai Porong Bagian Hilir, Badan Geologi, Bandung.
Badri, I., 2008. Peta Evaluasi Lingkungan Daerah Terdampak Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Bandung.
Bappeda Sidoarjo, 2007. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sidoarjo, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo, Sidoarjo.
Bemmelen, R.W., van, 1949. The Geology of Indonesia. Govt. Printing Office, The Hague, 732 pp.
Davies, R.J., Swarbrick, R.E., Evans, R.J., and Huuse, M., 2007. Birth of a Mud Volcano: East Java, 29 Mey 2006. GSA: vol. 17 no. 2, doi: 10.1130/GSATO1702A.1.
Deguchi, T., Maruyama, J., and Kobayashi, C., 2007. Monitoring of deformation caused by development of oil and gas field using PALSAR and ASTER data. Makalah dipresentasikan dalam The International Geological Workshop of Sidoarjo Mud Volcano, Jakarta 20-21 February 2007.
Graue, K., 2000. Mud Volcanoes in Deep water Nigeria: Marine and Petroleum Geology, v. 17, p. 959-974. doi: 10.1016/S0264-8172(00)00016-7.
Kadar, A.P., Kadar, K., and Aziz, F., 2007. Pleistocene Stratigraphy of Banjar panji-1 Well and The Surrounding Area. Abstract in International Geological Workshop on Sidoarjo Mud Volcano.
Lapindo, 2006. Banjar panji “Mud Volcano in The Making” sub surface study. Presentasi tanggal 29 Agustus 2006.
Neurauter, T.W., and Bryant, W.R., 1990. Seismic Expression of Sedimentary Volcanism on The Continental Slope, Northern Gulf of Mexico: Ge-Marine Letters, v.10, p. 225-231, doi: 10.1007 / BF02431069.
Planke, S., Svensen, H., Hovland, M., Banks, D.A., and Jamrveit, B., 2003. Mud and Migration in Active Mud Volcanoes in Azerbaijan: Geo-Marine Letters, v.23, p. 258-268, doi: 10.1007 / s00367-003-0152-2.
Santosa, S., dan Suwarti, T., 1992. Geologi Lembar Malang, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sudarsono, U., dan Sudjarwo, I.B., 2008. Amblesan di Daerah Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Vol. 3. No. 1 Maret 2008: 1 - 9, Bandung.
Williams, J.G., and Rymer, H., 2000. Hazard of Volcanic Gases, Encyclopedia of Volcanoes, Florida.
Zaennudin, A., Badri, I., Padmawidjaja, T., Humaida, H., Sutaningsih, E.N., 2010. Fenomena Geologi Semburan Lumpur Sidoarjo, Badan Geologi, Bandung.