1.1. LATAR BELAKANG
Hal
yang melatar-belakangi penulis mengambil studi genesis batuan diorit karena
batuan diorit merupakan jenis batuan beku menengah plutonik yang banyak dijumpai
di daerah penelitian. Melihat kondisi geologi daerah penelitian, satuan intrusi
diorit menempati ± 65,84 % dari luas daerah penelitian dan tersebar di bagian
tengah membentang dari utara sampai dengan selatan. Hal lainnya adalah belum
pernah ada kajian khusus dari peneliti sebelumnya mengenai genesis dari batuan
diorit di daerah penelitian.
Oleh
karena itu, penulis mencoba mengkaji studi khusus mengenai batuan diorit untuk mengetahui
genesis dan sebaran dari batuan diorit serta mengungkap asal mula magma
pembentuk batuan gunung api di daerah penelitian dengan menggunakan analisis
geokimia, yaitu analisis komposisi kimia batuan dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry.
Di
pihak lain penulis juga ingin membuktikan bahwa di daerah penelitian dahulunya merupakan
zona subduksi Kapur, yaitu dengan melakukan perbandingan antara hasil analisa
geokimia di Pulau Kalimantan yang berumur Kapur dengan hasil analisa geokimia
di Pulau Jawa yang berumur Tersier.
1.2. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud penelitian
adalah untuk mengidentifikasi dan mendiskripsi batuan gunung api secara
megaskopis, mikroskopis dan geokimia yang terkait dengan genesis batuan diorit,
khususnya batuan berumur Kapur di daerah penelitian berdasarkan komposisi kimia
batuan menggunakan metode XRF (X-ray
Fluorescence) Spektrometry.
Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui asal mula magma yang membentuk batuan gunung api dari
batuan diorit mengenai karakteristik
tipe /
jenis batuan di daerah penelitian. Selain itu, untuk mendeliniasi
sebaran batuan diorit di daerah penelitian.
1.3. PERMASALAHAN DAN BATASAN MASALAH
Permasalahan teknisnya
adalah kondisi singkapan yang sudah sangat tua dan lapuk lanjut, sehingga
hubungannya tidak jelas, selain itu juga mengenai beberapa sampel batuan yang
tidak layak dan hasil analisis laboratorium yang hasilnya tidak sesuai dengan
standar yang ada. Untuk itu perlu adanya penelitian khusus mengenai batuan
diorit ini tentang genesis dan sebaran batuan dilihat dari komposisi kimia
batuan. Dengan penelitian ini diharapkan kita menjadi tahu mengenai proses dan
asal mula magma dari batuan diorit di daerah penelitian.
Batasan masalah pada
penelitian ini adalah gambaran mengenai genesis dari batuan diorit dilihat dari
komposisi kimia batuan diorit dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry.
1.4. LANDASAN TEORI
1.4.1.
Asal
Mula Magma
Kebanyakan
kemunculan magma dihasilkan di batas lempeng, kecuali pada sesar transform yang
bilamanapun ada dihasilkan magma dalam jumlah sedikit. Lingkungan di mana magma
dihasilkan dapat dikelompokkan ke dalam lingkungan tepi lempeng (plate margin) dan bagian tengah lempeng
(intraplate) yang di dalamnya dapat
dibagi lagi menjadi tujuh tataan tektonik lempeng (Tabel 1.1). Wilson (1989)
menjelaskan bahwa lingkungan tataan tektonik pembentukan magma meliputi tepi
lempeng konstruktif, tepi lempeng destruktif, tataan bagian tengah lempeng
samudera dan tataan bagian tengah benua (Tabel 1.2). Selain itu McBirney (1984)
memberikan perkiraan angka kecepatan pembentukan magma (km3/tahun)
di dalam lingkungan – lingkungan tektonik yang berbeda tersebut (Tabel 1.3).
Tampak bahwa kecepatan pembentukan magma pada batuan plutonik jauh lebih cepat
(29,5) dibandingkan pada batuan gunung api (4,1 km3/tahun) untuk
masing – masing lokasi tataan tektoniknya.
Tabel 1.1.
|
Klasifikasi magma
yang berhubungan dengan lingkungan tektonik lempeng (Condie, 1982).
|
Tabel 1.2.
|
Ciri – ciri seri
magma yang berasosiasi dengan tataan tektonik khusus (Wilson 1989).
|
Tabel 1.3.
|
Kecepatan global
magmatisme pada Masa Kenozoikum (McBirney, 1984).
|
Distribusi
magma tampak berhubungan dengan tegasan tektonik di dalam kerak maupun di dalam
mantel bagian atas (Gambar 1.1). Lingkungan tegasan ekstensif seperti
punggungan samudera, cekungan tepi – lautan dan regangan benua dicirikan oleh
seri magma tholeit dan seri magma alkali. Jalur subduksi / penekukan
diasosiasikan dengan dominasi tegasan kompresif yang menghasilkan seri magma
kapur alkali. Daerah dengan tegasan minor (kompresif atau ekstensif) seperti
cekungan samudera dan daerah kraton / inti benua dicirikan oleh seri magma
tholeit atau seri magma alkali.
Gambar 1.1.
|
Penampang
yang memperlihatkan hubungan pembentukan magma dengan tektonik lempeng
(Ringwood, 1969).
|
Sebagian
besar pembentukan magma berlangsung pada batas lempeng litosfer yang sering
dijumpai di punggungan tengah samudera, busur kepulauan dan bagian tepi benua
aktif yang merupakan batas – batas persentuhan lempeng. Namun demikian
pembentukan magma juga berlangsung secara terpisah – pisah menempati bagian
tengah lempeng yaitu pusat – pusat magmatisme yang bersumber dari hot spot. Lokasi hot spot terletak dekat punggungan samudera, bagian tengah lempeng
samudera dan berada pada lempeng – lempeng benua. Diperkirakan magma yang
membentuk kerak samudera di punggungan tengah samudera berasal dari peleburan
bagian paling atas astenosfir, sedangkan yang membangun pulau – pulau samudera
(Hawaii) berasal dari peleburan bahan di bagian dalam mantel Bumi.
1.4.2.
Definisi
Magma
Secara
sederhana magma didefinisikan sebagai material induk pembentuk batuan beku atau
disebut sebagai zat batuan yang mencair. Magma dicirikan oleh komposisi
didominasi silika (SiO2), bersuhu tinggi dan mempunyai kemampuan
untuk mengalir.
Sifat mudah mengalirnya magma berkaitan dengan
viskositas / kekentalan magma artinya magma yang mempunyai viskositas tinggi
tidak mudah mengalir dan relatif cepat membeku, sedangkan magma yang mempunyai
viskositas rendah akan mudah mengalir dan relatif lambat membeku. Viskositas
lava tergantung pada komposisi (terutama SiO2 dan kandungan gas yang
terlarut di dalamnya) dan tergantung pada temperatur. Magma berkomposisi basal
(kurang dari 50 % SiO2) adalah cepat mengalir / mudah mengalir,
sedangkan magma yang mempunyai komposisi riolit (mengandung 70 % atau lebih SiO2)
adalah sangat pekat (viskositas tinggi) sehingga mengalir sangat lambat dan
pergerakannya sukar dideteksi. Sifat kekentalannya yang tinggi tersebut membuat
gelembung gas sulit untuk keluar. Hal yang terakhir ini berkaitan dengan
letusan kuat yang menghasilkan abu gunung api.
Sifat fisik magma berhubungan dengan magma sebagai
bahan cair kental pijar, mengandung gas dan bersuhu tinggi. Oleh karena itu,
magma mudah bergerak dan arah pergerakannya mempunyai kecenderungan menuju ke
permukaan Bumi membentuk gunung api. Bilamana magma membeku jauh di dalam Bumi
(deep seated intrusions) membentuk
batuan beku dalam atau batuan plutonik, sedangkan magma membeku dekat permukaan
(sub volcanic intrusions; shallow magma
intrusions dan hypabyssal intrusions)
atau di dalam tubuh gunung api sampai membeku di permukaan Bumi membentuk
batuan beku intrusi dangkal dan batuan gunung api.
Sifat magma yang mempunyai suhu tinggi sehingga
mencapai 1400oC (Macdonald, 1972) berhubungan dengan komposisi magma.
Magma berkomposisi basal mempunyai suhu paling tinggi (1000oC – 1400oC)
dibandingkan magma berkomposisi lebih asam (missal magma riolit = 850oC).
1.4.3.
Komposisi
Magma
Secara
umum batuan beku disusun oleh enam kelompok mineral seperti olivin, piroksin,
ampibol, mika, feldspar, dan kuarsa. Unsur – unsur yang terkandung di dalam
mineral – mineral penyusun batuan beku adalah Si (silikon), Al (aluminium), Ca
(kalsium), Na (sodium), K (potasium), Fe (besi), Mg (magnesium), H (hidrogen)
dan O (oksigen), unsur – unsur ini selalu diekspresikan dalam ion oksida
sebagai SiO2, Al2O3, dan seterusnya. Unsur Si
(SiO2) merupakan unsur terbanyak dan terpenting untuk mengendalikan
sifat magma sehingga unsur ini sering dipakai para ahli sebagai komponen
pembanding untuk klasifikasi batuan magma.
Batuan
magma disaring terlebih dulu melalui dapur magma sebelum perpindahannya ke
permukaan atau dekat permukaan Bumi. Proses – proses di dalam dapur magma
sering merubah komposisi magma primer produk peleburan sebagian sumber melalui
fraksinasi kristal, percampuran magma, kontaminasi atau percampuran dinamis
beberapa proses – proses tersebut. Selanjutnya kemungkinan batuan beku secara
kimiawi berubah karena pelepasan gas atau karena interaksinya dengan cairan
yang dapat mempengaruhi kimia isotop stabil.
Flint
(1977) menjelaskan bahwa komposisi magma hasil analisis kimia menunjukkan
kisaran 45 % berat sampai 75 % berat SiO2. Hanya sedikit lava yang
komposisi SiO2 mencapai terendah 30 % berat dan setinggi 80 % berat,
tetapi variasi ini terbentuk bila magma terasimilasi oleh fragmen batuan
sedimen dan batuan malihan atau ketika diferensiasi magma, sehingga menyebabkan
komposisi magma berubah. Berdasarkan analisa kimia tersebut terdapat tiga jenis
magma (Gambar 1.2), yaitu :
1. Magma
mengandung sekitar 50 % SiO2 membentuk batuan beku basal, diabas dan
gabro;
2. Magma
mengandung sekitar 60 % SiO2 membentuk batuan beku andesit dan
diorit;
3. Magma
mengandung sekitar 70 % SiO2 membentuk batuan beku riolit dan
granit.
Selain komposisi senyawa SiO2, pada
gambar juga memperlihatkan
bahwa batuan beku basal / gabro didominasi oleh mineral yang berkomposisi Al2O3,
FeO, MgO, CaO, sedangkan batuan riolit / granit didominasi oleh mineral yang
mempunyai komposisi Al2O3, Na2O3
dan K2O.
Gambar 1.2.
|
Memperlihatkan
kisaran komposisi (persen berat) jenis batuan beku dan dibedakan menjadi tiga
kelompok utama jenis magma yang ada di Bumi (Flint, 1977).
|
Di pihak lain Peccerillo dan Taylor (1976) membagi
magma berdasarkan kandungan SiO2 (Tabel 1.4) dan kombinasi antara
SiO2 dengan K2O (Gambar 1.3). Komposisi kombinasi
menunjukkan adanya afinitas magma K rendah (low
K series) atau sering disebut tholeiite,
K menengah rendah (calc – alkaline series),
K menengah tinggi (high K calc alkaline
series) dan K tinggi (shoshonite
series). Pada Gambar 1.3 dapat dijelaskan bahwa terdapat beragam komposisi
batuan beku seperti : andesit tholeit, andesit kapur alkali, dan andesit
shosonit, begitupun juga untuk kombinasi batuan beku yang lain.
Tabel 1.4.
|
Jenis magma dan
komposisi magma Peccerillo dan Taylor (1976).
|
Gambar 1.3.
|
Komposisi dan
afinitas magma menurut Peccerillo dan Taylor (1976).
|
1.5. HASIL ANALISA DAN PEMBAHASAN
1.5.1.
Hasil
Analisis
1.5.1.1.
Lapangan
Penulis melakukan penelitian pada dua
satuan batuan, yaitu satuan intrusi diorit dan satuan intrusi granit. Luasnya
penyebaran satuan intrusi diorit yang mencakup ± 65,84 % dari luas daerah
penelitian, sedangkan untuk satuan intrusi granit ± 18,33 % dari luas daerah
penelitian. Penulis mengambil contoh batuan sebanyak 8 sampel pada satuan
intrusi diorit dan satuan intrusi granit yang diambil secara acak pada Lp. 1 sampel
1 (Foto 1.1), Lp. 69 sampel 2 (Foto 1.2), Lp. 65 sampel 3 (Foto 1.3), Lp. 40 sampel
4 (Foto 1.4), Lp. 11 sampel 5 (Foto 1.5), Lp. 56 sampel 6 (Foto 1.6), Lp. 20 sampel
7 (Foto 1.7), Lp. 15 sampel 8 (Foto 1.8), untuk analisa penentuan kadar SiO2, TiO2, Al2O3,
Fe2O3, MnO, CaO, MgO, Na2O, K2O, P2O5
dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry. Sedangkan untuk menentukan
komposisi dan afinitas magmanya penulis menggunakan model chart Peccerillo dan Taylor (1976).
Foto 1.1.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 1 di Lp. 1 (lensa menghadap ke utara).
|
Foto 1.2.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 2 di Lp. 69 (lensa menghadap ke utara).
|
Foto 1.3.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 3 di Lp. 65 (lensa menghadap ke timur).
|
Foto 1.4.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 4 di Lp. 40 (lensa menghadap ke timur).
|
Foto 1.5.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 5 di Lp. 11 (lensa menghadap ke barat).
|
Foto 1.6.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 6 di Lp. 56 (lensa menghadap ke selatan).
|
Foto 1.7.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 7 di Lp. 20 (lensa menghadap ke utara).
|
Foto 1.8.
|
Pengambilan
contoh batuan untuk sampel 8 di Lp. 15 (lensa menghadap ke timur).
|
1.5.1.2.
Laboratorium
Berdasarkan hasil analisa data geokimia batuan
yang penulis dapatkan dari Laboratorium Pusat Survei Geologi, penulis dapat menguraikannya
sebagai berikut di bawah ini :
Tabel 1.5.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 1di Lp. 1.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
73.110
|
Si
|
%
|
67.497
|
23.686
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
0.235
|
Ti
|
%
|
0.278
|
1.507
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
14.281
|
Al
|
%
|
14.918
|
21.533
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
3.008
|
Fe
|
%
|
4.135
|
10.767
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.029
|
Mn
|
%
|
0.044
|
0.237
|
|
6
|
CaO
|
%
|
3.942
|
Ca
|
%
|
5.574
|
15.073
|
|
7
|
MgO
|
%
|
1.099
|
Mg
|
%
|
1.305
|
7.967
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
3.994
|
Na
|
%
|
5.838
|
17.227
|
|
9
|
K2O
|
%
|
0.195
|
K
|
%
|
0.318
|
1.507
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
0.107
|
P
|
%
|
0.092
|
0.495
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel 1.6.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 2 di Lp. 69.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
61.553
|
Si
|
%
|
54.531
|
20.481
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
0.527
|
Ti
|
%
|
0.599
|
2.560
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
16.614
|
Al
|
%
|
16.666
|
17.068
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
7.735
|
Fe
|
%
|
10.222
|
13.654
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.154
|
Mn
|
%
|
0.227
|
1.024
|
|
6
|
CaO
|
%
|
2.981
|
Ca
|
%
|
4.037
|
10.241
|
|
7
|
MgO
|
%
|
4.072
|
Mg
|
%
|
4.674
|
11.947
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
4.723
|
Na
|
%
|
6.642
|
13.654
|
|
9
|
K2O
|
%
|
1.406
|
K
|
%
|
2.208
|
8.534
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
0.235
|
P
|
%
|
0.195
|
0.836
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel 1.7.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 3 di Lp. 65.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
48.999
|
Si
|
%
|
41.564
|
19.042
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
0.666
|
Ti
|
%
|
0.724
|
3.015
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
18.809
|
Al
|
%
|
18.063
|
17.455
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
11.411
|
Fe
|
%
|
14.758
|
15.868
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.201
|
Mn
|
%
|
0.282
|
1.269
|
|
6
|
CaO
|
%
|
11.656
|
Ca
|
%
|
14.814
|
17.455
|
|
7
|
MgO
|
%
|
5.383
|
Mg
|
%
|
5.903
|
12.694
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
2.190
|
Na
|
%
|
2.933
|
9.521
|
|
9
|
K2O
|
%
|
0.582
|
K
|
%
|
0.876
|
3.332
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
0.103
|
P
|
%
|
0.082
|
0.349
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel 1.8.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 4 di Lp. 40.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
58.938
|
Si
|
%
|
51.596
|
19.487
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
0.543
|
Ti
|
%
|
0.610
|
2.598
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
17.293
|
Al
|
%
|
17.128
|
17.863
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
8.341
|
Fe
|
%
|
10.896
|
14.615
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.147
|
Mn
|
%
|
0.213
|
0.812
|
|
6
|
CaO
|
%
|
4.352
|
Ca
|
%
|
5.825
|
11.367
|
|
7
|
MgO
|
%
|
3.773
|
Mg
|
%
|
4.258
|
11.367
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
3.804
|
Na
|
%
|
5.283
|
11.367
|
|
9
|
K2O
|
%
|
2.584
|
K
|
%
|
4.006
|
9.743
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
0.226
|
P
|
%
|
0.185
|
0.779
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel 1.9.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 5 di Lp. 11.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
77.544
|
Si
|
%
|
71.654
|
24.882
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
0.060
|
Ti
|
%
|
0.071
|
0.448
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
12.581
|
Al
|
%
|
13.156
|
24.882
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
0.858
|
Fe
|
%
|
1.183
|
5.972
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.010
|
Mn
|
%
|
0.015
|
0.124
|
|
6
|
CaO
|
%
|
0.271
|
Ca
|
%
|
0.383
|
2.239
|
|
7
|
MgO
|
%
|
0.130
|
Mg
|
%
|
0.155
|
1.493
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
3.595
|
Na
|
%
|
5.278
|
17.417
|
|
9
|
K2O
|
%
|
4.940
|
K
|
%
|
8.096
|
22.394
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
0.012
|
P
|
%
|
0.011
|
0.149
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel 1.10.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 6 di Lp. 56.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
56.883
|
Si
|
%
|
49.325
|
18.349
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
1.183
|
Ti
|
%
|
1.316
|
4.893
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
16.168
|
Al
|
%
|
15.853
|
15.291
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
9.232
|
Fe
|
%
|
11.932
|
13.761
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.146
|
Mn
|
%
|
0.210
|
0.917
|
|
6
|
CaO
|
%
|
4.691
|
Ca
|
%
|
6.226
|
10.703
|
|
7
|
MgO
|
%
|
2.546
|
Mg
|
%
|
2.844
|
9.174
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
4.701
|
Na
|
%
|
6.468
|
12.232
|
|
9
|
K2O
|
%
|
3.057
|
K
|
%
|
4.702
|
10.703
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
1.393
|
P
|
%
|
1.124
|
3.976
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel 1.11.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 7 di Lp. 20.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
58.516
|
Si
|
%
|
51.090
|
19.078
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
0.595
|
Ti
|
%
|
0.665
|
2.703
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
17.072
|
Al
|
%
|
16.883
|
17.488
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
8.742
|
Fe
|
%
|
11.383
|
14.308
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.157
|
Mn
|
%
|
0.227
|
0.954
|
|
6
|
CaO
|
%
|
4.469
|
Ca
|
%
|
5.961
|
11.129
|
|
7
|
MgO
|
%
|
3.604
|
Mg
|
%
|
4.076
|
11.129
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
4.139
|
Na
|
%
|
5.730
|
12.719
|
|
9
|
K2O
|
%
|
2.420
|
K
|
%
|
3.750
|
9.539
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
0.287
|
P
|
%
|
0.235
|
0.954
|
|
100
|
100
|
100
|
Tabel 1.12.
|
Hasil uji kimia
metode XRF (XRF method chemistry
analysis result) pada sampel 8 di Lp. 15.
|
No.
|
Oksida
|
Satuan
|
Jumlah
|
Elemen
|
Satuan
|
Jumlah
|
Sd
|
Ket.
|
No.
|
(oxides)
|
(unit)
|
(amount)
|
(elements)
|
(unit)
|
(amount)
|
(expl.)
|
|
1
|
SiO2
|
%
|
91.875
|
Si
|
%
|
90.231
|
35.211
|
|
2
|
TiO2
|
%
|
0.164
|
Ti
|
%
|
0.207
|
2.465
|
|
3
|
Al2O3
|
%
|
6.143
|
Al
|
%
|
6.826
|
30.181
|
|
4
|
Fe2O3
|
%
|
0.965
|
Fe
|
%
|
1.419
|
16.600
|
|
5
|
MnO
|
%
|
0.006
|
Mn
|
%
|
0.010
|
0.252
|
|
6
|
CaO
|
%
|
0.047
|
Ca
|
%
|
0.071
|
0.855
|
|
7
|
MgO
|
%
|
0.190
|
Mg
|
%
|
0.241
|
3.018
|
|
8
|
Na2O
|
%
|
0.257
|
Na
|
%
|
0.401
|
4.527
|
|
9
|
K2O
|
%
|
0.328
|
K
|
%
|
0.572
|
6.539
|
|
10
|
P2O5
|
%
|
0.025
|
P
|
%
|
0.023
|
0.352
|
|
100
|
100
|
100
|
Gambar 1.4.
|
Grafik hasil
kombinasi analisa geokimia menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry, menurut Peccerillo dan Taylor
(1976).
|
1.5.2. Pembahasan
Di tinjau dari segi geologi daerah
penelitian, batuan diorit menempati satuan intrusi diorit yang termasuk dalam
Formasi Diorit Batung yang berumur Kapur Atas. Satuan intrusi diorit ini
tersusun oleh diorit dan sisipan andesit. Secara geomorfologi satuan intrusi
diorit terletak pada satuan geomorfologi bergelombang lemah – kuat struktural
dan satuan geomorfologi bergelombang kuat perbukitan denudasional. Struktur
geologi yang berkembang pada daerah penelitian adalah adanya kekar.
Dari hasil laboratorium diketahui bahwa
sebagian besar dari hasil analisa geokimia dengan menggunakan metode XRF (X-ray Fluorescence) Spektrometry dengan
menggunakan model chart Peccerillo
dan Taylor (1976) yang mengarah ke batuan beku dengan komposisi magmanya
menengah atau intermediet (Gambar 1.4).
Dari beberapa sampel batuan beku yang diambil di
daerah penelitian berdasarkan analisis kimia tersebut didapat tiga jenis magma,
yaitu :
1. Magma
mengandung sekitar 50 % SiO2 membentuk batuan beku basal seperti
pada sampel 3 di Lp. 65;
2. Magma
mengandung sekitar 60 % SiO2 membentuk batuan beku andesit dan
diorit seperti pada sampel 2 di Lp. 69, sampel 4
di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7 di Lp.
20;
3. Magma
mengandung sekitar 70 % SiO2 membentuk batuan beku granit seperti
sampel 1 di Lp. 1, sampel 5 di Lp. 11, sampel 8 di Lp. 15.
Dari kedelapan sampel batuan tersebut yang akan
dilakukan penelitian lebih lanjut adalah sampel batuan dengan jenis komposisi
magmanya menengah, yaitu sampel 2 di Lp. 69, sampel 4 di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7 di Lp. 20. Jenis
komposisi magma menengah mempunyai kandungan silika 60% dengan unsur utama lain
Al, Ca, Na, Fe, Mg, viskositas magma relatifnya menengah dengan suhu pada
pembekuan kristal pertama 800 – 1000 menghasilkan produk batuan beku berupa
diorit untuk batuan beku plutonik dan andesit untuk batuan beku volkanik
(Chernicoff dan Venkatakrishnan, 1995).
Jenis magma menengah dengan SiO2 53% –
63% pun masih dibagi menjadi dua bagian, yaitu 57% - 63% SiO2
komposisi magmanya andesit untuk batuan beku volkaniknya dan diorit untuk batuan beku plutoniknya, 53%
- 57% SiO2 komposisi magmanya andesit basal untuk batuan beku
volkanik dan diorit basaltik untuk batuan beku plutoniknya (Peccerillo dan
Taylor, 1976).
Pada sampel 2 di Lp. 69 dari hasil analisis petrografi
(klasifikasi Williams, 1982) maupun analisis geokimia dengan menggunakan
menggunakan metode XRF (X-ray
Fluorescence) Spektrometry serta dari hasil grafik komposisi dan afinitas
magma (Peccerillo dan Taylor, 1976) menunjukkan bahwa dari hasil analisis
tersebut diketahui batuan pada sampel 2 di Lp. 69 adalah batuan beku volkanik,
yaitu andesit.
Pada sampel 4 di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7 di Lp. 20 dari hasil analisis petrografi
(klasifikasi Williams, 1982) maupun analisis geokimia dengan menggunakan
menggunakan metode XRF (X-ray
Fluorescence) Spektrometry serta dari hasil grafik komposisi dan afinitas
magma (Peccerillo dan Taylor, 1976) menunjukkan bahwa dari hasil analisis
tersebut diketahui batuan pada sampel 4 di Lp. 40, sampel 6 di Lp. 56, sampel 7
di Lp. 20 adalah batuan beku plutonik yaitu diorit.
Dari 8 (delapan) sampel batuan tersebut berdasarkan
grafik geokimianya terdapat (2) dua sampel batuan yang tidak layak digunakan sebagai
acauan untuk penelitian, yaitu sampel 5 di Lp. 11 dan sampel 8 di Lp. 15. Hal
ini mungkin disebabkan oleh kondisi sampel batuan yang sudah mengalami
pelapukan dan hasil laboratorium yang hasilnya tidak sesuai dengan standar yang
ada.
Selain itu juga untuk membuktikan apakah
batuan yang ada di daerah penelitian merupakan produk subduksi, maka penulis
membuat perbandingan antara hasil analisis geokimia yang ada di daerah
penelitian, yaitu di Pulau Kalimantan yang berumur Kapur dengan data hasil
analisis geokimia yang ada di Pulau Jawa yang berumur Tersier berdasarkan data
hasil penulis terdahulu (Soeria-Atmaja dkk, 1993) meliputi daerah Bayat,
Parangtritis, Kulon Progo dan Karang Sambung. Jumlah sampel pembanding ada 13 (tiga
belas) sampel batuan, yang meliputi : Bayat 3 sampel, Parangtritis 2 sampel,
Kulon Progo 5 sampel dan Karang Sambung 3 sampel (Gambar 1.5).
Gambar 1.5.
|
Grafik hasil perbandingan
analisa geokimia yang ada di daerah penelitian (Pulau Kalimantan) yang
berumur Kapur dengan yang ada di Pulau Jawa yang berumur Tersier (Soeria-Atmaja
dkk, 1993) menggunakan metode XRF (X-ray
Fluorescence) Spektrometry, menurut Peccerillo dan Taylor (1976).
|
Dari hasil perbandingan tersebut,
diketahui bahwa batuan yang ada di daerah penelitian, yaitu yang ada di Pulau
Kalimantan yang berumur Kapur dengan batuan yang ada di Pulau Jawa yang berumur
Tersier, menunjukkan grafik yang relatif sama komposisi kimia batuannya, yaitu
menengah atau intermediet dan masih dalam lingkup afinitas magma K menengah
tinggi (High-K Series), K menengah
rendah (Medium-K Series) dan K rendah
(Low-K Series).
Zona jalur subduksi mengarah pada afinitas magma K
menengah tinggi (High-K Series), K
menengah rendah (Medium-K Series) dan
K rendah (Low-K Series), di luar dari
itu bukan merupakan produk dari subduksi yaitu pada afinitas magma K tinggi (Shoshonite Series).
Condie (1982) menyebutkan bahwa kebanyakan
kemunculan magma dihasilkan di batas lempeng, kecuali pada sesar transform yang
bilamanapun ada dihasilkan magma dalam jumlah sedikit. Pada lokasi daerah
penelitian lingkungan di mana magma dihasilkan terletak pada lingkungan tepi
lempeng (plate margin) dan masuk
dalam tataan tektonik lempeng konvergen (jalur penekukan), hal ini berdasarkan
hasil analisa geokimia pada grafik (Gambar 1.4) jalur subduksi / penekukan
diasosiasikan dengan dominasi tegasan kompresif yang menghasilkan seri magma
kapur alkali. Berdasarkan inilah maka genesis dari magma adalah sebagai akibat
dari proses subduksi / penekukan, penunjaman lempeng samudera ke lempeng benua,
yaitu antara lempeng Benua Eurasia dan lempeng Samudera Indo-Australia. Karena
berat jenis lempeng samudera lebih besar daripada lempeng benua, maka lempeng
samudera tertekuk (melengkung) ke bawah dengan sudut 45o atau lebih,
menyusup di bawah lempeng benua menuju astenosfir.
Kecepatan global magmatisme pada masa Kenozoikum
(McBirney, 1984) tepi lempeng destruktif untuk batuan gunungapi adalah 0,4 –
0,6 km3/tahun dan 2,5 – 8,0 untuk batuan plutonik.